Sesendok St. Helena Sensasi Nasionalisme


Kini tinggallah Kondrad sendiri. Angin dingin menyerahkan dialog kepada telaga kenangan di benak Kondrad.

"Saat kabur, Sang Dewi sengaja melepaskan satu aroma seribu tanya. Menggantung di leherku dengan permintaan, semua lensa nalar karena keinginan memahami, dengan segala hormat harus segera pergi menyingkir. Selalu untuk selalu. Jumlah lembaran puisi ini hanya terkait satu jepitan jari. Belum semua aku kuasai kata-kata terkamus rapi dan tersembunyi di satu deretan rak perpustakaan. Tetapi alam inspirasimu senyawa imajinasi, terbentang bersama gugusan bintang-bintang tak bernama untuk kusentuh. Tak berbatas luasnya anggitan kartika,  terhirup pesona dalam kurun detik. Untukmu bersama seserup kahveh, always...!"  

"Dessy, tiada akan tersembunyi aksara-aksara itu agar bersemayam di kalbu. Bukti langgengnya ia di saat ini, besok, sampai kapan pun, sama seperti hari yang telah berlalu. Maafkan aku yang telah membangunkan rasa penasaran untuk bertemu, karena tulisan refleksi sejarahku ini."

Sesendok St. Helena Sensasi Nasionalisme

I
Blah-blah demagogis, dan aku melihat diriku di sana. Kekasihku, turunlah berdansa denganku, sebab di mata hatimu telah terbaca. Lihat phantom pun tersenyum, meneguk cita rasa kopi Sri Paduka. Atau cacing-cacing despot di tanah arogan bersedawa, setidaknya.

II
Wahai Jenderal di Bukit Kersang, memoarmu pucat, berat, dan tajam. Kami memang ramah, bijaksana, dan rela kebodohan dicengkeram. Kami memang terbiasa manut, kecut, dan takut dengan aktor-aktor orator kotor dan kejam. Namun gelegar karismamu bergaung dari derap sepatu besi korps gerak cepat. Menerjang badai hujan api, menerjang badai padang pasir. Meteor murka dari mulut meriam di atas menara kota, nenyambar lintasan langit kaum konspirator koalisi imperium raya. Di muka barikade dengan arteleri yang paling mematikan, berani di antara yang paling berani menempa nyawa. Darah negaramu tertuang dari leher tentara-tentara agung, kesetiaan mengalir bak air sungai.

Apakah arti hadiah topeng emas kepada pembela perkataan mulia, di antara gelar-gelar opurtunis kemuliaan dan keagungan bersimbol surga? Biarlah tulang-tulang kami berserakan adalah sisa makanan anjing-anjing setia. Nyaring melolong, itu sementara

III
Dan aku tidak bermaksud mengatakan kesalahan Baginda, provokasi meredam pertahanan dari lorong-lorong soliter. Ketabahan telah khyusukkan pijakan kemurnian kepada cita-cita rakyat semesta, kemurnian kepada cita-cita egaliter. Perarakan tinggalkan selangkah bagi nasib, atau rakyat sipil mati gantung diri. Perlahan di atas liang kuburan bahasa suci dan hina merancang kebenaran diskriminasi, perlahan di lantai kemasyhuran nasehat mulia menanti basi.

Dan biarkan sisa cairan bangkai tengkorak mereka menggigil, demam dalam pertempuran aksara-aksara sakral mereka kelak menagih janji. Merampas pampasan demi kolase inspirasi, sembari menikam kesaksian sejati. Tersenyum diam di atas ketelanjangan tanya anak-anak titisan langit, yang hidup dengan rebusan keringat dan darah rakyat jelata. Sekarat kemenjadian hari dari penjara mimpi.

V
Adakah ada alasan prinsip-prinsip kezaliman peradaban tidak memilih tidak ada menjadi ada? muskil dikenakan jika syarat cincin anasir-anasir terkondisi tidak ada. Surai kuda mereka tidak henti-henti pamerkan kemenangan dramatis, yang tertulis dengan tinta nektar di sapu tangan linen berdebu.

Perlukah ditanya lagi, siapa yang membangun lingkaran benteng-benteng megah jika bukan karena, egomania terhalusinasi ketakutan koalisi rahasia, musuh abadi kuasa illah-illah berilusi, dengan tangan-tangan raksasa bermusket hantu mengungtit dari belakang? Perlukah ditanya kembali, siapa yang memicu tali kekang peristiwa, tatkala takut menoleh ke bawah, ratusan ribu pembunuh massal di telapak kaki semua penguasa? Mereka biadab, mereka agung, mereka dicaci maki, mereka dicintai. Mereka sama-sama tidak bebas dari rantai pilihan rencana dan peristiwa, merekalah yang sama-sama dibesarkan jaman. Kita tenangkan ringkik kuda di tengah-tengah nyanyian raja-raja. Kejayaan adalah harta, adalah nama, adalah waktu, adalah lupa.

VI
Blah-blah demagogis sejarah. Monarki neraka penindasan mengadopsi cakrawala demokrasi karena terpaksa demi tahta. Hujan darah merah bersimbah dimana-mana adalah harga silih ransum nasionalisme.

Kini diriku di sana terbuka mata melihat aku berada di pentas mimbar naskah-naskah luhur warisan visi membumi. Seraya menghirup guano dan harum mesiu klasik, sesaat mencecap sesendok air kopi kultivar St. Helena di sini. Asap kebebasan membumbung dari bening api jiwa yang menyala berkobar-kobar membakar imajininasi :

Saatnya akan tiba saudara, getaran-getaran nyali terbaca di mata Anda.
Saatnya akan tiba saudara, kebangkitan firasat peti mati Jenderal*.

Kepada garda-garda gelora revolusi, derai air mata yang meleburkan seribu muntahan api, bergemuruh haru di prosesi pemakaman :

Diam mengakui kenyataan, khidmat ikrar dan kehormatan rakyat sipil bertaruh di ujung pedang manusia berkharisma. Diam menerima kenyataan, kebencian bukan sebuah keharusan absolut yang dibunuh dengan luapan darah kebencian karena penyangkalan kebenaran fakta. Engkau yang nanti tidak ada, tidak akan pernah relakan mautmu menerima kematian dengan tidak selayaknya. Jika tidak karena kemuskilan sang matahari tenggelam di ujung kaki gelombang samudera, jika tidak karena keniscayaan kehidupan adalah keharmonian skala peta dan syarat di pundak sejarah. Lalu apa yang aku artikan tentang pernik-pernik megalomania?

Bayonet menyambut penobatan seorang negarawan, bunga-bunga magis legenda strategi brilian penaklukan, sensasi resital tunggal manusia anggun yang terbuang, hadir persembahkan kejutan?

Apa yang aku tahu tentang rasa sakit memborok, mengerang, merobek-robek dada, ketika kasta para pemimpin tirani menginjak-injak harkat dan martabat negara? itu setidaknya.


*)Napoleon Bonaparte. Bersambung. Reposting dari Kompasiana - BangKemal
Fragmen sebelumnya : Gerai Kahveh, Always



Gerai Kahveh, Always ... !

Gerai Kahveh di seberang kampus menjadi persinggahan terfavorit sepanjang kenangan. Tersedia di sana bagi pengunjung fasilitas free wifi. Kondrad yang ditemani secangkir kopi sedang asyik mendengarkan musik. Sebuah lagu kesedihan, Adagio - Lara Fabian. Lara juga menanti suara merdu sang dewi inspirator. Desiran angin dingin membawakan sapa. Kerinduan yang sama kembali setelah tertawan hari-hari sepi. Kehilangan merampas waktu penuh ceria dengan jeda yang tersiksa lama. Mengangkat kembali peristiwa satu jam yang lalu.
-------

"Hai, sudah baca jawabku tentang mutiara. Seandainya penyair itu Abang?"

"Ting, tok, tok, tok. Ting, tok, tok, tok." Sendok kecil beradu di antara vas bunga oriental dengan tatakannya.

Tes dulu, ah, demikian bisikan hati Dessy ingin mengatur beat suasana. Kondrad terpancing mengerling mata ke arah gerak lincah jari Dessy. Teriring dentingan manja harpa mengejar debaran selo, hadiran meliarkan fantasi .

"Salahkan aku beranggapan demikian? Komplain serius, nih." Akting Dessy melempar jejaring perhatian bernada cemberut. Mata mereka seksama memindai titik fokus dari pucuk suara.

"Sebentar Dessy..., bukan maksud bagiku merancang seribu sosok di satu rangkaian gerbong. Memang adalah benar jika kita semua superbijak, bubar kabe. Yang jelas kita ini bukan siapa-siapa." Kondrad enggan masuk ke lorong jalan pembicaraan yang sama dan memaksakan penutup akhir diskusi. Diskusi seru yang sebenarnya telah lama dinanti. Perasaannya berubah peka dan gelisah, jawaban Dessy tidak menyinggung esai kopi.

Sang dewi sadar akan pengalihan, tanggapan blunder dari inti masalah. Ia menghindari sambil  mengaduk-aduk air kopi di cangkir yang belum disentuh Kondrad.

"Bang, ada lho saduran formula macchiato, cappuccino, latte dan lain-lain. Belum lagi dengan variasi sekarang. Kadang terasa ada rum, ada wine. Di atasnya bisa ditaburi tambahan menarik. Itu biar keaslian coklat kopi tidak memekat hanya menjadi hitam. Nikmatnya lebih wah. Bang, aku mau presentasikan keahlian kalau bahas kopi. Aku sendiri punya resep khusus warisan keluarga. Abang masih tidak yakin, hai? Kuambilkan bahannya di dapur kantin, ya. Plus makanan kecil buat Abangku tersayang. Ibu kantin sudah menganggap aku anaknya. Dia sering mengajak aku mengulas rajikan kopinya. Oke, oke?"

"Ah, emoh. Kopi yah tetap kopi. Nggak mesti kan hilang dahsyatnya karena perisa atau brands selangit. Apalagi pakai makanan pendamping. Lama-kelamaan nanti, kudapan lupa diri memeran figuran. Kopi dikudeta Napoleon. Coffeol malah berkesan pelengkap, simbol penyedap semata-mata. Hem, sengaja bahas kopi? ayuk. Cobalah sekali-kali diimajinasikan nihil terimajinasi sebuah proses. Apa yang sebenarnya mereka nikmati dengan mahalnya civet coffee? Cerita-cerita di balik fragmentasi, fermentasi tak tersentuh tangan manusia? Natural itu akan menyangkal dan berdendang. Dessy yang caem, tengoklah ke dalam. Kita mesti telanjang seperti lirik lagu Ebiet. Pernahkah diteliti sejarah ucapan itu? Akungku dulu pernah berkata sama tentang kejujuran waktu merebus kopi. Lalu tertuang separuh di cawan kesayangan kerabatnya masing-masing. Ia berlagak seorang profesor, cerdas dan ringan bercanda. Bila cawanmu kosong, kamu akan diam. Tapi bila kuisi sedikit, sisanya tidak akan membiarkan selamanya kamu terdiam berkata jujur. Isi lagi dong. Mereka tidak mengenal Kahlil Gibran. Sementara kita-kita sekarang hanya tahu, syair piala setengah penuh itu milik sang legenda. Nun jauh di belahan bumi lain. Lalu akungku kembali memberi petuah. Keberhasilan adalah keteladanan terbaik daripada kongko-kongko. Ia tidak tahu di buku Napoleon I of France tertulis, sukses adalah pembicara yang paling meyakinkan di dunia."

"Jadi bagiku, berapa pun banding satu hasilnya sama. Memahami kemurnian imajinasi dari apa yang tidak lagi terucapkan. Sama seperti pesanmu dulu. Kesan-kesan atau suasana ber-cozy ria tentu bukan yang utama. Bukan begitu dewiku? Kesan apapun akan berbeda dengan keaslian sebuah pesan untuk dipahami. Seidentik dengan syair mutira itu. Bukti langgengnya ia di saat ini, besok, sampai kapan pun, sama seperti  waktu yang telah berlalu. Lalu dengan kopi hitam pekat ini, cukuplah aku berteman dengan senyum manis wajah monalisamu. Itu saja. Oh Dessy, jarang pakai lipstik ya?" Mata Kondrad berat hati melepaskan tatapan bagai senapan lontak membidik bibir Dessy yang aduhai. Luluh juga harga argumentasi Dessy.

"Jangan diinterupsi dulu ya, sayangku. Laskar yang super sok benar, sok pintar seantero kahyangan. Walaupun dikau pernah belajar banyak tip, biar Adikmu  lanjutkan dulu."

"Dor, merdeka." Kondrad menyeletuk. Dessy tidak peduli dan terus menguliahi.

"Genre kopi itu banyak, Bang. Tergantung asal-usulnya, kondisi tanah, air, unsur-unsur hara. Begitu juga puluhan racikan yang kita kenal, jumlah sebenarnya bahkan lebih. Termasuk yang diminum Napoleon menjelang kematian. Sekarang lagi musim, peracik truly coffee house memilih roasting sendiri untuk tetap mengangkat mutu keaslian. Setuju soal ini dan cernalah baik-baik maksudku seperti pencernaan luwak. Ada hal yang sama dan yang berbeda. Dikau pun bisa meracik sendiri muridku. Enggak usah songong di lapangan terbuka. Hai, ini ide penemuanku, ini kesukaanku. Mengapa? itu hanyalah jenis atau varian yang akan siaga memenjarakan imajinasimu ke pulau pembuangan." Dessy semakin menukik tajam.

"Begini saja cerita sebuah loyalitas. Ketelanjangan ilham dan pesan ibarat sajian secangkir hangat air kopi.  Apakah hanya itu? Ada sedikit zat rasa yang membuat penikmat penasaran. Ini mengatrol selera ingin tahu untuk tergoda. Sama seperti senyumku. Hi-hi, itu kata Abang, ya. Mahalnya sejuta arti karena belum semua terungkap pasti."

"Dor, hidup Bu guruku." Lagi-lagi sengaja diinterupsi Kondrad. Dessy menaikkan volume suara.

"Makanya Bang, biarlah masing-masing menentukan harga dengan rasa suka melangit, tidak suka membumi. Selera orang berbeda-beda. Marilah kita hargai semua proses ramuan itu, layaknya menghargai jerih payah pekerja seni menyelesaikan tahap finishing, lukisan kehidupan yang ia subjektifkan. Penikmat sekali-kali akan terbiasa menikmati keaslian dan kelezatan ekstranya. Tentu Abangku yang setengah baik setengah sombong, periferal itu tidak asal jadi, semua ikut mendukung, dan segala arah dukungan itu memerlukan disiplinnya tersendiri seperti kekayaan konsentrasi dari jenis-jenis buku panduan di rak-rak perpustakaan seluruh dunia. Sekali lagi, pilihan itu bebas tanpa paksaan. Dan otak kita tidak berpihak dengan membuta saat berjalan di tengah malam karena berpandukan rasi-rasi bintang dan bulan tanpa perlu kehilangan prisma jiwa dan pikirannya. Bukan sepoi-sepoi angin-anginan, Kakanda. Jika tidak, monotonlah ia setua akung dan hyang putri kita tanpa nilai perbandingan. Yang jelas seumur-umur Abang tetap bisa mencintai kopi. Dan cinta itu ibarat proses biji-bijian yang telah tersaji dengan segala bentuk kemahsyuran. Apalah Abangku ini, dengarkan baik-baik poin terakhir. Tidak ada larangan untuk Abang terinspirasi dari hasil racikanku, jika itu yang menjadi gangguan pencernaanmu kambuh lagi."

"Hore, seru-seru. Hem, terngiang bentuk imajinasi Kahlil memaknai cinta." Diam-diam Kondrad menyimpan pujian luar biasa karena tutur kata Dessy yang tak putus-putus. Tiba-tiba ide liar bertandang.

"Bagaimana jika Abang dihadapkan pilihan, kopi yang palingnya paling atau memilih seorang wanita ayu perajik kopi yang setengah telanjang?"

"Abang yang omong duluan. Tertulis jelas-jelas di syair itu. Dari dulu Abang yang ku kenal, nggak hilang-hilang kelakuan pelesetan. Mendadak kabur ah, kayak kuda nil jaman Kahlil. Terus kudanya berlari sambil bernyanyi riang, 'Abang ganjen, Abang melow, Abang lebay, Abang gila.' Gitu tuh liriknya.

Dessy tetap memasang wajah gengsi menatap senyum Kondrad yang tertahan kaku tersipu-sipu. Kena dah skak ster. Hatinya senang tak terlukiskan melihat pemandangan yang tidak biasa. Kondrad tak sanggup lagi berkata-kata alias mati gaya, mirip mumi salah tingkah.




Catatan : Bersambung. Link musik (inspirasi) Youtube : http://youtu.be/nVjy3g9FRZY

Rahasiamu Rahasiaku


“Kabur lagi, kabur lagi. Kapan aku bisa jewer telingamu Dessy Pujiastuti? Hayo mau kemana?” Terdengar suara Kondrad berat menahan beban di hati. 

Dessy yang merasa jengah akhir-akhir ini dengan situasi serius yang di reka Kondrad, terdiam. Ia menggeserkan laptop Kondrad tanpa sungkan-sungkan lagi, tepat di depannya. Sementara Kondrad menulusuri suasana di ruang hati Dessy. 

"Kebiasaan kalau bertemu, antusiasmu meluap-luap membongkar rahasia di balik tirai-tirai kalimatku. Ah, entahlah. Suka-sukamu saja mengandaikan mereka adalah gambaran sosokku ke alam bawah sadarmu. Yang terbayang di benakku sekarang, sebuah cerita roman lama filsuf dengan psikolog. Karena arogansi intelektual, mereka sulit sekali mencairkan komunikasi yang lama meregang kebekuan. Setiap satu saja ucapan, tak berbeda untuk satu saja perlakuan, lahirlah lembaran panjang naskah kritikan. Naskas lengkap yang tiada lagi tercela di atas celaan, demi citra pengetahuan penulis adalah sempurna. Seolah-olah terbaik sejagad raya, sepanjang sejarah. Diam pun mereka saling membedah karakter masing-masing pasangannya. Yang satu mengusung kekuatan deduksi, menarik semua nilai seperti gaya sentripetal. Tertutup pengecualian, semesta harus masuk dalam cakupan. Yang lain sentrifugal dengan teori-teori kemungkinan. Hanya meriset beberapa kasus, sudah berani mengambil kesimpulan absolut. Tertutup pengecualian, seluruhnya harus kena dengan klaim sama. Egoisme sembunyi di balik sekat-sekat kebenaran. Kebenaran menjadi tangga-tangga berkasta. Saat terjadi titik temu, sesaat itu pula berlalu menjauh. Alam pikiran terbawa arus keras lautan praduga, dan mengalahkan tekanan rindu yang menggunung. Setelah bertahun-tahun setia bertahan, akhirnya terungkap latar belakang mereka. Tidak ada satupun yang mendukung kualifikasi akademik. Titik temu keterbukaan membuka kunci akhir epolog dengan manis.”

“Nah ini dia. Terbukti. Cubit saja yang ada di desktop ini.” Dessy kaget menemukan wajahnya sendiri. 

“Lho, karya tulis itu bisa ditepis cukup dengan satu sentuhan jari. Tapi yang ini? no way. Laptopku ambek-ambekan kalau ada yang kotak katik. Dia memang benda mati yang sudah diprogram. Jika diklik A, hasilnya tetap A. B, ya tetap B. Konsisten dan setia habis-habisan. Harga mati sebelum dirinya tergantikan. Tidak ada celah kesempatan bagi kritikan atau keraguan. Karena kemampuan terapannya sangat tinggi. Hem, berbanding terbalik dengan yang sering hang alias plin-plan. Tugas mulia memberi sinyal, senyummu tidak akan tertandingi. Walaupun dengan wallpaper seni karya kontemporer.” Intonasi Kondrad meninggi dengan kiasan memaksa. 

Diam-diam Kondrad merasa bersalah. Hampir semua foto facebook Dessy, termasuk sahabat dan keluarganya di-download. Jangan-jangan kagum akut tetapi malu-malu mengakui. Campur aduk dengan sedikit perasaan sesal. 

“Hanya? hanya demi itu?” Dessy menyidik maksud tersirat. 

“Tentunya tidak sayangku. Ini sekedar konfirmasi dasar. Semua penilaian tidak perlu aku bantah. Setidaknya setelah sejenak kurenungkan alasan keseluruhan. Tidak ada pengaruh karena satu kata, setia. Gitu Dessyyy. Bukankah semua ini berawal dari ucapanmu? Dirimu tidak perlu dipahami. Nah, demikianlah sebaliknya diriku kepada dirimu. Hayo, apa lagi.” 

"Oh gitu? Oke abangku. Dua kali aku sudah menegaskan ini ya. Ambillah semuanya. Kalau harus seolah-olah itu sungguhan demi harta inspirasimu, besok kububuh terasi berbuih-buih di permukaan air kopi. Maksudku ada satu pemintaan bersyarat. Percaya diri dan jujur modal dasar brand activation abang.” Dessy tanpa sadar terbawa gaya bicara Kondrad. Mengambang dan mengena. Serius sekaligus ingin melucu. Akhirnya terasa hambar karena bukanlah watak dirinya. 

"Duh, mengapa mesti takut? itu juga masih berbentuk delusi. Mari pertama kita bertanya. Memangnya kita ini siapa? Diriku juga sama. Sesuatu yang belum terjadi, meskipun bunga di hati terbang ke teras surga. Itu artinya sayap-sayap kecil sekeras baja, tidak mungkin patah menuju……?” 

“Eit, eit, hati-hati berbicara hati ya!” Dessy protes keras.

Begitu banyak hal yang menegangkan, mengganjal pembicaraan. Sesungguhnya tidaklah meniadakan cermin yang membayangi kekukuhan di hati mereka. Seakan telah terjalin erat rasa ingin melindungi, meskipun keinginan itu masih terjerat waktu Tidak ada halangan kesediaan di taman kerinduan yang kering dan tandus, menanti sentuhan pertama curahan hujan. Kondrad tiba-tiba terpana dan merekam situasi ini. Serasi dan saling mengagumi. Alam lamunannya terjebak pesona wajah ayu Dessy. 

"Sekiranya bias sang surya tebarkan rinduku dari jendela depan rumah kopi ini. Sekiranya menerpa mulus kontraskan riasan warna yang menyekar bagi yang sedia merangkai jejak tilasnya. Biarlah saja pantulan perhiasaan memesona itu terlepas perlahan. Bagai keharuman semerbak dalam relung kebisuan akan menyinari kebahagiaan di roman lembut Dessy. Biarlah saja murka hati setajam penoreh duri-duri di tangkai sekuntum mawar merah. Bagai bongkahan kepedihan akan memadukan kerelaan diamku yang membeku berbenturan keras. Sungguh menakjubkan lukisan cahaya citra senyuman itu."

“Ssst diam, kagak pakai tapi-tapi. Rahasiamu rahasiaku." Dessy buyarkan impian perjalanan wisata Kondrad ke negeri awan. 

Ia bergegas terburu-buru dan pergi, setelah jari-jari lantiknya bersamba lincah di atas laptop. Tingkah Kondrad tampak mendadak terguncang-guncang keheranan. Pasrah menyaksikan apa yg terjadi. Mengapa suasana ini kembali terjadi berkali-kali? Dessy belum menganulir sanksi atas perkara desktop backround itu. Namun draf novel saat diklik tertera lanjutan :

Tidak ada yang bisa dipaksakan, bang. Belajarlah percaya dengan suara hati. Bahagia yang akan mampu memendam kesedihan yang tersesak di ruang batinku, tanpa tergesa-gesa akan kembali bersemi di relung hati. Bagiku, ia tidaklah semestinya tercipta karena karya-karya seni. Kerena kekaguman ataupun iba, karena canda menggoda ataupun magnet kata-kata berestetika tinggi. Ttidak akan pernah bisa jika tidak tergali dari hati kecil sendiri. Dan ingat, aku memiliki saudara yang saling mengasihi. Kami tidak akan mungkin menerima, seseorang yang kami cintai mempermainkan nyawanya sendiri. Memoriku tidak meminta kehilangan terjadi. Tidak terkecuali dengan perasaanku ketika membaca puisi refleksi nasionalime itu. Tidak peduli dengan ejekanmu, oh, kamu mungkin takut? Abang semestinya mengerti keutuhan kebahagiaan orang lain yang mencintai abang. Dengan begitu aku sanggup meyakinkan diri, abang tidak mudah mempermainkan kata-kata cinta.

“Duh, bagaimana dengan kejelasan bahasan ini tanpa dibicarakan? Aku meletakkan kedalamanku di sana. Aku juga relakan karyaku pergi mencari arah jalannya sendiri. Lisan yang lebih meyakinkan bagiku. Tetapi mengapa sekali lagi? diamku terpaku setelah menemukan ungkapan beraksara tebal. Detik itu nasip mujurku seolah-olah terhempas dari atap langit. Ahay, baru saja berlalu lenggang-lenggok pinggulmu yang menghanyutkan pesona di mataku, gebrak, seluruh bayangan hasrat hati yang membumbung tinggi, hancur luluh tiada lagi terperi. Di muka gerbang inspirasimu, tidak ada kesempatan sedikit pun, engkau mau mendengarkan dengan rinci satu demi satu, penjelasanku. Sengaja pergi atau sengaja menutup diri? Bukankah aku bahkan selalu menyatakan maafku? Sekalipun untuk sesuatu yang tidak seharusnya, yang berawal dari kenyataan lain yang tidak ada kaitan dengan kenyataan kita.”

“Aku merenungkan tujuan awal saat pertama kali kita berkenalan. Satu dari basis persepsi mematri. Mengapa tidak kita sederhanakan saja semua persoalan dalam keteduhan rahim persahabatan? Aku cemburu dengan keakraban di foto-foto keluargamu. Mereka cermin yang hendak memancarkan makna, bahwa hidup itu indah saat terasa aroma, keinginan merelakan hati bagi yang lain demi kesejatian ikatan persaudaraan. Mengapa hubungan kita yang belum menemukan titik terang menjadi penghalang? Tanpa beban yang berkecamuk dengan semua angan-angan. Kecewa, bahagia, kebencian, dan perhatian. Memanggil abang seperti menyapa saudara tua dalam keluargamu. Memanggil abang seperti sapaan terhadap teman-temanmu. Kita ini berada di garis pertahanan ego yang sama. Kita juga yang tidak mungkin menyangkal suara hati yang sama. Bahwa cinta sejati sesungguhnya tumbuh dari palung hati yang terdalam. Tidak akan pernah bisa dipaksakan dengan cara apapun karena tidak semua bisa disamakan.”


Catatan : Bersambung. Teriring inspirasi dari Youtube : http://youtu.be/O6rbV-YId7Q
Dan lirik : http://www.lyrics007.com/Sarah%20McLachlan%20Lyrics/Forgiveness%20Lyrics.html



Sarah McLachlan - Forgiveness lyrics


Writer: MCLACHLAN, SARAH / MARCHAND, PIERRE 

Loving, lying enemy
I have seen your face before
Never thought again I'd see
Didn't want to anymore


I remember your loving eyes
And the moonlit kiss
The evening lullabies I will truly miss
Through the years we had it all
The midnight whispers, the midday calls
This house of cards, it had to fall


And you ask for forgiveness
You're asking too much
I have sheltered my heart in a place you can't touch
I don't believe when you tell me your love is real
'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt to feel


Every time I see you, I can't help but look away
All along I had believed everything you'd say
When I look now I know I've seen your face before
Don't want your deceiving smile, standing at my door


And I don't care what people say
I'm ready now to face this day
'Cause I have lost you along the way


And you ask for forgiveness
You're asking too much
I have sheltered my heart in a place you can't touch
I don't believe when you tell me your love is real
'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt to feel


'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt


To ask for forgiveness
You're asking too much
I have sheltered my heart in a place you can't touch
I don't believe when you tell me your love is real
'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt to feel

Cinta Sejati Sang Penakluk Samudera


Setelah sekian lama mendedikasikan diri sebagai pelaut pelayaran nasional maupun internasional, dari sebuah agency worldwide for oil tankers, kapal oil supply milik Jepang, Donie akhirnya menerima penunjukan menjadi salah satu nahkoda. Satu dari ribuan kapal berkelas dunia, the international oil transportation yang membawa minyak bervolume tinggi dari Timur Tengah agar mencapai titik limit biaya pengangkutan terrendah per-barel. Tugas ini mungkin hanya sementara karena terjadi kekosongan satu perwira yang telah memasuki usia pensiun. Pengalamannya, kemampuan beberapa bahasa asing, prestasi dalam pendidikan serta berbagai short course - program yang diakui pelayaran internasional yang diikuti - mumpuni.

Pilihan menjadi pelaut memberikan ketenangan tersendiri di kedalaman batin. Laksana panggilan hidup yang ia kaulkan bersama cintanya yang begitu berketetapan kepada seorang gadis, ketenangan batin itu jelmakan sublimasi keberanian menghadapi resiko apapun, termasuk integritas tinggi tanpa pamrih dengan konspirasi internal maupun eksternal. Keselamatan kapal  telah teruji dengan pengalaman sebelumnya, ia merangkap tugas ekstra markonis. Saat itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap perwira untuk memiliki double licence. Sedangkan integritas itu adalah prinsip yang memfusikan diri menjadi bawaan watak yang mutlak harus dimiliki seorang nahkoda. Sebab ia akan sering berurusan dengan berbagai berita acara.

Sekalipun disapa master, panggilan kehormatan mendampingi perwira jaga lainnya, kerendahan hati berdiri kokoh di atas formalitas jabatan. Jelaslah ia satu-satunya warga negara Indonesia yang bekerja di ruang anjungan. Bukti pengabdian dari satu plot alur kisah penyangkalan diri untuk tidak akan terlibat dalam pranata perkawinan. Demi janji kepada seorang gadis dan komitmen memberikan arti hidupnya kepada siapapun. Terbentuklah sifat yang mendasari tanpa disadari, bahwa setiap insan semestinya menjadi pemimpin di atas kaki sendiri. Sekalipun separuh jiwa hilang dan terasa hampa karena perpisahan. Pembalikan membentuk stimulan yang mampu memaknai setiap jengkal waktu yang diberikan Pemilik  Maha Kehendak.

Ia tidak menjatuhkan pilihan pendamping bahtera kehidupan kepada seorang sahabatnya, kepada teman dekat Vien, kepada pilihan kedua orang tua. Ia tidak yakin kabar yang membenarkan Vien telah sengaja menghindari diri karena ragu dan menikah dengan seorang dosen program pendidikan professional ethics di Abu Dhabi. Beberapa petunjuk alamat ditemukan, tetapi lagi-lagi sebuah alamat kosong. Ia kehilangan jejak dan tidak berkehendak menyadari akan satu titik rahasia atas fakta, bahwa pintu kemenangan adalah keterbukaan hati setiap insan yang tidak mudah mau memahami. Tidak terhitung dengan jari tahun-tahun yang sudah berlalu, tiadalah lelah ia bergelut dengan kebimbangan di persimpangan penantian kebahagiaan. Dan kekuatan cinta yang tidak pernah surut karena batasan alam dan waktu.

“Sampai satu nafas akhir mengambil jiwaku dari raga kembali kepada Sang Pencipta, i don’t care. Tidak ada waktu lagi menadah tangan bila dunia tidak memihak, kapalku akan terus berlayar.” Keteduhan batin Donie menaklukkan hari-harinya.


Muse - Starlight lyrics

Far away
The ship is taking me far away
Far away from my memories
Of the people who care if I live or die

Starlight
I will be chasing your starlight
Until the end of my life
I don't know if it's worth it anymore

And hold you in my arms
I just wanted to hold
You in my arms

My life
You electrify my life
Lets conspire to re-ignite
All the souls that would die just to feel alive

But I'll never let you go
If you promise not to fade away
Never fade away

Our hopes and expectations
Black holes and revelations
Our hopes and expectations
Black holes and revelations

Hold you in my arms
I just wanted to hold
You in my arms

Far away
The ship is taking me far away
Far away from my memories
Of the people who care if I live or die

I'll never let you go
If you promise not to fade away
Never fade away

Our hopes and expectations
Black holes and revelations
Yeah
Our hopes and expectations
Black holes and revelations

Hold you in my arms
I just wanted to hold
You in my arms

I just wanted to hold





Catatan : Sepenggal kisah lanjutan yang bermula dari puisi Vien. Tulisan lama blog pribadi (sudah ditutup), diangkat kembali. Sumber (inspirasi) dari lirik : http://www.lyrics007.com/Muse%20Lyrics/Starlight%20Lyrics.html . Link Youtube :  http://youtu.be/J5Upu-X4mow. Diposting bersamaan di Kompasiana-BangKemal

Kekasih atau Teman, Vien Bertanya

Kapas putih merebah di tapak tangan
Seribu nada sepi berakhir di tengah tembang kemenangan
   Kuntumkuntum bunga penanda alam seia dalam satu ikatan
   Seribu impian gugur bersama iringan syairsyair hayati kekalahan

Tiadalah mampu rahasiarahasia itu selalu bersemayam
ketika badai tanya menutup pintu demi keteduhan diri
   Vien berjalan menghampiri telaga di kenyerian jeritan malam
   ketika misteri penguasa bermata api membungkam janjijanji

Detikdetik berlalu lepaskan samar sendu ayunan tari
Vien takluk dengan lelah menahan satu demi satu titisan air mata
   Ambil, ambilah semua kiranaku yang ada di genggaman tangan ini
   agar senyum tulusmu mampu melepas saat dia memanggilmu mesra

Tiadalah tersisa satu pun pujian dan kukuhnya sadar kalam menemani
sekar itu terjatuh ke tanah bersama keniscayaan impian tanpa harapan
   Vien terhenti di sisi genangan bersama riakriak kenangan telaga sunyi
   sekali lagi, apakah ku percayakan tanya ini di pintumu tanpa kepastian

Telaga yang beningkan taburan bintangbintang.........
   dengan rayuan pendarpendar perak sang bulan
telaga yang membawa serintisan jalan bagi biduk cinta..........
   menyambat ikrarikrar jiwa abadi kesemestaan alam
telaga yang mengukir amarah cemburu membara di dada...........
   menjadi satu lingkaran ikatan sakral singgasana langit malam
talaga yang memadamkan kepalsuankepalsuan opera lama........
   menjadi naskah akhir kasih sayang dalam kepasrahan
telaga yang memancarkan binar malu kunangkunang........
   bersujud di bawah keagungan cahaya kesetiaan
telaga yang diberkati untuk selamalamanya..........
   dengan air mata oliva syurga

Alam adalah alam, janji adalah janji
bibir Vien tergerak perlahan kini

Kekasih atau teman artiku bagimu  s e l a m a n y a ?

Waktu adalah waktu, kenangan adalah kenangan
bibir Vien tertutup kesangatan beban kesunyian
dalam kegentaran keakanan,   d i   h a d a p a n n y a



Catatan :
Update puisi. Terima kasih Sahabat yang memberikan tanda di fb. Jadi teringat pernah posting puisi ini. Salam hangat.  Sumber lirik yang menginspirasi : http://www.lyrics007.com/Abba%20Lyrics/The%20Winner%20Takes%20It%20All%20Lyrics.html
Sembari teriring musik Youtube : http://youtu.be/0sryOCnuj7c
Puisi sederhana ini pernah di-posting di Kompasiana - BangKemal



Abba - The Winner Takes It All lyrics

I don’t wanna talk
About the things we’ve gone through
Though it’s hurting me
Now it’s history
I’ve played all my cards
And that’s what you’ve done too
Nothing more to say
No more ace to play

The winner takes it all
The loser standing small
Beside the victory
That’s her destiny

I was in your arms
Thinking I belonged there
I figured it made sense
Building me a fence
Building me a home
Thinking I’d be strong there
But I was a fool
Playing by the rules

The gods may throw a dice
Their minds as cold as ice
And someone way down here
Loses someone dear
The winner takes it all
The loser has to fall
It’s simple and it’s plain
Why should I complain.

But tell me does she kiss
Like I used to kiss you?
Does it feel the same
When she calls your name?
Somewhere deep inside
You must know I miss you
But what can I say
Rules must be obeyed

The judges will decide
The likes of me abide
Spectators of the show
Always staying low
The game is on again
A lover or a friend
A big thing or a small
The winner takes it all

I don’t wanna talk
If it makes you feel sad
And I understand
You’ve come to shake my hand
I apologize
If it makes you feel bad
Seeing me so tense
No self-confidence
But you see
The winner takes it all


The winner takes it all...... 





Mimbar Rumah Kita, Terima Kasih Indonesiaku

Rumbai-rumbai selendang pawana mengusap roma wajah dengan liuk lembut
Iringan tarian maharani kuning keemasan selaras debur ombak membuai ritme
Nyiur hijau tak hirau senja memaksa berlalu tatkala rindu pun enggan membiar
Decak haru bagai rengekan anakanak kecil mengembunkan kenangan di hati
Untuk pesona pantai, betapa hamparan memencar aura menegunkan kagum
Karunia ia makin merasuki renungan, seakan semua berkelimpahan cumacuma
Aditama ia makin berarti memberi pilihan, selayak ganjaran kasih Sang Khalik
Nyatalah indah anugerah ini, seindah bukti kasih itu sungguh tidak berhingga
Kehendak diri merekat di telapak kaki, karna butiran pasir yang menyapa halus
Adalah pilihan diri meluruhkan dayanya, karna terhempas ombak di bibir pantai
Meski acap bidal pusaka dan lariklarik pujangga berlinang tinta air mata darah
Penderitaan mengusung hakekat kebersamaan dalam keranda sejuta mimpi
Ujaran syukur tak berujung selamanya di mimbar yang pasrah memugar batin
Negeri berbudaya citrakan keabadian ruby, flora khatulistiwa keasrian zamrud
Gelora di lanskap alam milik diri generasi, hening tajamkan pilihan dalam kredo
Haluan seyogianya di depan gugusan dwipa, lahir dari bakti yang diberkatkan

Aku dan kita yang kecil tempo hari
   masih merekam amanat
   trah leluhur yang tiada ternilaikan
   tiada lebih pun sekarung bekal berprestise

Lenterakan penanda betapa alpanya kita
   mengintergrasikan makna riwayat
   dalam pigura perjuangan
   di era pendewaan kepemimpinan kapitalis

Aku dan kita yang kecil tempo hari
   masih mendengar suara satu
   dan takjub melihat dedikasi 
   cucuran peluh serta harta 
dari kekurangan mereka
   agar tegaklah berdiri

Masjid dengan kaligrafi berestetika
   bersama kapel dan gereja unik
   pura yang mencuar bersama klenteng megah
   dan indahnya wihara

Aku dan kita sekarang bersyukur dan mengatakan 
   lebih baik kita tinggal di rumah sendiri dalam damai
   bangkit kembali mengadvokasi
   seraya melayakkan perbuatan mulia 
   melandasi wahana kehendak

Nyaring ia terdengar di lubuk hati 
   bagi insaninsan yang tahu akan siapa dirinya di atas maha karya
   haluan itu takkan pernah surut nilai
   sampaikan marwah bangsa milikmu 
adalah juga milikku




Catatan :
Reposting dari Kompasiana/bangkemal

Mari nikmati Youtube : http://youtu.be/PziPKZ8m-tM