Firasat 20.30

siapa seperti damai yang menguratnadi
tiada rentan memeta sayatan segala mula
   pergilah saja, tunjukkan telahan ini tiada
   bagaimana dinazar seketika sadar dimiliki
siapa peduli seperti sapaan rindu menyigi pagi
tiada tertahan napas menghangati selasar pasrah
   pergilah saja, berikan kesaksian dan kenakan tanda
   bagaimana debudebu terseka bersih seketika homili

tataplah kepekatan di sindang pemangkinan
riakriak batin tersekap hasrat mempersilihkan
memori 20.30 mengiras firasat perlawanan
   takkan mematah sedetik pun
   arah putaran

tataplah ribaan pelangi bulan separuh
memupus anarki singgasana akanan
warnawarni bunga tercerap keiklasan
   tak sekedar tinggalan nisbah  
   setia yang menyatu

tataplah diamdiam tanah yang menaruh
dingin membeku hening yang rengkuh
karang mengempar terhempas masih
   takkan merisik baitbait misteri
   luruh di sisi lirih

sejenak merunduk usai tangan menangkup
    nyatalah rembah melebur butiran prisma
pengindra sinarmenyinar hingga sesayupsayup
    nyatalah lilin dan api meraga sungkawa
bermalammalam mendamba jawaban doa
    nyatalah penglihatan hiasan madah
keugaharian yang dicamkan
    berkarunia tabah

jika syarat linangan lilin hantaran kirana
    membakar kedua paru dengan meminta
kesarwaan beranjak menyusuri bias mega
    merebak cakrawala dan helaian masa
usahkan sefasih simile buncak kian menitik
    kedalaman distilir seruni menggemai larik  
mendengar bisik seangin perbahasa penanda
    betapa kesementaraan kita juga mereka
gatra berantara sutra

sungguhpun wajar kekitaan bagian
   jurai fajar pada pagi yang berazam
skrin memorial mengeraikan penyangkalan
   mengejar harapan usai menyagar silam
embunembun menamai alam

bangkitlah
meski terpaku sesal yang dalam
baitbait abadiah
hari kehormatanku doamu bersemayam

demikian aku, engkau menjadi
seperti yang  d i j a d i k a n



Catatan khusus:
Tulisan diangkat bertema kepergian ibu dan terkait: Reinkarnasi Mimpi Kehilangan. Pilihan lagu Youtube gara-gara nonton sebuah acara tv, We Sing For You, beberapa jam lalu. Waw, sedih tapi jempol. Setuju, liriknya memang kuat. Terima kasih.

Teriring ucap:
Selamat Menyambut Hari Kemenangan 2013 M/ 1 Syawal 1434H –kebanggaan bersama. Mohon dimaafkan, Sahabat, sengaja atau lupa, lahir dan batin. Serta Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-68. Merdeka.




Aksara Pasir (April III)


tingginya mimbar perihal madah puji
pias rebahan dari sisi pendulum deruji elegi
pun mozaik semomen ode merefleksi
dawai dikenal sejak kesetiaan lirik menemani

nyaring di rembangnya fajar
sesawi jelajahi makna berlayar
kembali bentangan kini bersahaja
katakan tandas genapi arungnya:

april, sebut namanama pemilik naskah
pendopo pleno peneroka kainos. riuh rendah
adalah seputik prasetia sejauh perimeter diri
tertumpu di atas seteru mersik. pembatas sunyi:

setiap senandung ritmis, dia membrannya perdendosi     
setiap luapan sadar, dia ada di dalam himpitan sanubari
setiap hamburan snare drum, dia resistan kepedaran aorta
setiap seduhan abstraksi, dialah jiwanya penyangkalan raga

april, maestro hujan melalui jendela cahaya
melukis derasnya tajam merajam. siapa dia

hilang dan kembali sepemagutan holistis. dia:

pertanggungjawaban yang terlanjur disirnakan?
tra usah isyaratkan lentik jemari menjejak dagu 
peraduan sentuh terima kasih cukuplah sibiran
runduk tulus di hamparan semu. sekanvas waktu:

siapa bersikeras memfase kilau 
polesan porselen
setelah muk mendengus alibi pengingkaran aksen
setelah muk menelan gunting dalam lipatan berlalu
setelah muk melekap serat matahari snob pembeku?       
siapa sekeringat barista taklebih      
siapa seiras penampan. melayani

kardus kosong satukan naskah:

biar daun berguguran dari ranting pembungkam jawaban
     bagaimana ukiran artistik di nampannya selaras bukti
tiket perjalanan yang terlantar di tangan tanpa pelantaran
     serahkan kepada mesin penghancur kertas. kita pergi:


ini cara april memberitahu surut
jangkar melepas birai tepian laut
aksara pasir satu untuk satu
percaya menunggu deru


Catatan khusus:
Dia di sini tentang naskah dan kenyataan, keinginan melayani dan kardus kosong, kemudian perlahan melepas jangkar. Kepergian direlevansikan dengan tema lagu.
Sumber lirik Youtube.



Time to Say Goodbye  -Sarah Brightman & Andrea Bocelli-  
(The English Lyrics)
 
Sarah:
When I'm alone I dream of the horizon and words fail me.
There is no light in a room where there is no sun
and there is no sun if you're not here with me, with me.
From every window unfurls my heart the heart that you have won.
Into me you've poured the light,
the light that you found by the side of the road.


Time to say goodbye.

Places that I've never seen or experienced with you.
Now I shall, I'll sail with you upon ships across the seas,
seas that exist no more,
it's time to say goodbye.


Andrea:

When you're far away I dream of the horizon and words fail me.
And of course I know that you're with me, with me.
You, my moon, you are with me.
My sun, you're here with me with me, with me, with me.


Time to say goodbye.

Places that I've never seen or experienced with you.
Now I shall, I'll sail with you upon ships across the seas,
seas that exist no more,


Both:

I'll revive them with you.
I'll go with you upon ships across the seas,
seas that exist no more,
I'll revive them with you.
I'll go with you.



Tart Ultah Jadi Kangkung Asin (III)


Saat Dipanggil Mahasiswa

     Aroma sangit terkuliti, satu-satu aksara bermutasi, kehendak murni tertitis ‘masih’. Bersama kandil dan lilin, bocah-bosah sedikit galau ini menerawangkan suajana mata Panta Rhei mengarifi perginya siang. Bersama nurani dan visi mahasiswa, mereka menyusun sandi sastra menyala indah sepanjang bantaran perginya malam. Mudah-mudahan peta maut enggan berpunca kaldera baru selagi Tuhan memiliki nyawa kita dengan satu kata: masih. Sebab, mati suci tidak untuk dicari-cari melebihi takaran takdir sebagaimana anugerah hidup itu sendiri: diberi.

     Lagi dan lagi, entah dari mana gaung kekar menggegar kepalan kedua tangan, segera sepasang manik mata kembangkan sayap-sayap kekinian, dan menuntun pencarian landasan perintis di balik barisan gunung tertinggi kerendahan hati Shangri-la*:

Sungguh, sajak-sajak para perekat ‘binar sutra’ nusantara yang meruwat api kaldron mereka menyangatkan varian seruan kehendak. Samar, meski mengaitpun tidak - apalagi terselubung ekstra picisan ‘isasi-isasi’ relegi diantarai - tetaplah mahamakna jernihkan penggalian dan peneguhan kodrati. Lupa atau  sengaja, kita telah merangkak terseret-seret pembawaan raja-rajaan di atas gelombang mega-megaan figuran zaman yang mengaduk-aduk dimensi internal dengan kedudukan dan rancanganNya. Terlalu terombang-ambing  ‘demi’  memantaskan nafas igauan dan tangisan bayi semalaman di ruangan kaca-kaca pembiasan. Kalaupun ada gerak perdamaian, ada ketelibatan welasan asih, ada advokasi bagi yang menderita, ada percik bara idealisme, berarti lahirnya prestise konkret bukanlah dari rahim ibadah, bukanlah berasal dari Tuhan, melainkan alasan nihil utopis, nama lain pemisahan dengan klise diri: demi.

Di tanah leluhur, di rumah-rumah ibadah yang angker, lentera-lentera dingin membeku, gelap terasing di pembaringan sunyi. Pada keberadaan sedemikian, kitab-kitab suci telah menyelesaikan campur tangan Tuhan hanya sampai di sana. Hak ‘hitam-putih’ selebihnya diambil alih ahli-ahli tafsir dan para filsuf tersohor, para motivator dan penceramah rohani megabintang. Kenyangnya kata-kata suci mencari kanal-kanal ratapan di luar diri: engkau memang salah, engkau muntahan kesalahan, engkau memakan kesalahan itu sendiri, bagaimanapun engkau…, titik.

Sementara tanda koma absolut syaratkan rebahan perubahan; hukum royalti surga terbatas kedok-kedok pahatan ambisi; produk keintiman mesin tirani angka-angka taruhan masif; hidup-mati sebuah eksistensi komikal simetris neraka-surga. Takkan ada Mata Tuhan di sini, kecuali kewajiban TanganNya di atas kepala kepada doa-doa ketentraman berdinding kaca tebal: berbangsa dan bernegara. Keberadaan seiring di ujung tanduk meretak, karena mengira falsafah negara, inspirasi mekanis, cermin refeleksi diri, selangkah kaprah di muka kehormatan berlentera kehendak. Takluput bau badan yang dibungkus gerakan bersih-bersih boneka ‘pom pom girls’ dan bromocorah terhormat, pelakon bertelut dan bersih-bersih di pemandian rakyat yang permisif. Siapa Tuhan kita? Sampai di mana harga pembusukan kala nurani terjungkal realitas, lebih-lebih dinistakan dari terima kasih kita? Di mana lagi kita harus mengasingkan tanah leluhur dari darah persalinan ibu, di mana?** Sekali merdeka, tetap kawula di tanah persada. Keberadaan stagnan ini niscaya bukanlah sebuah tabir berkarakter status quo, pada saat kita dipanggil mahasiswa.

    “Sekian orat-oretku, teman-teman seperjuangan. Oh, ya, spiritnya dari ibu tadi, ‘Selagi nafas masih, pemelajaran abadi’, terima kasih.  Oke, Jenderal Item!”

    Jenderal mengiyakan. “Ayo bangkit sambil merangkul bahu teman kanan dan kiri kita! Kasihan mayoret berdiri sendiri. Green Berets kangkungnya pada mangkir. Kita nyanyikan Padamu Negeri.”

    Teman-teman mulai beraksi. Tempat kosong untukku sengaja tersedia di sebelah kiri Dessy.

    “Ahai, berbakat pantomim rupanya.”


Keterangan:
  • Tema kangkung asin selesai.
  • *) Shangri-la terkenal sebagai nama hotel yang diambil dari legenda surga kerajaan Shambhala di Himalaya. Sumber asli banyak ditemukan di catatan bawah referensi Wikipedia, Britannica, Occultopedia, atau ensiklopedia lainnya. Namun konteks tulisan dibaca sebagai simbolisasi dari penjelmaan wujud bahasa jiwa di antara batas ‘ruang dan waktu’. 
  • **) Direlevansikan dengan lirik lagu Fallen Embers – Enya. Sumber lirik dari Youtube.
  • Teriring ucapan Selamat Hari Kartini.



Fallen Embers – Enya.


Once, as my heart remembers,
all the stars were fallen embers.
Once, when night seemed forever
I was with you. 
Once, in the care of morning
in the air was all belonging.
Once, when that day was dawning.
I was with you.
How far we are from morning.
how far we are
and the stars shining through the darkness,
falling in the air.
Once, as the night was leaving
into us our dreams were weaving.
Once, all dreams were worth keeping.
I was with you.
Once, when our hearts were singing,
I was with you.



Tart Ultah Jadi Kangkung Asin (II)


Menggarami Tanpa Tanya

     “Diulangi, ya, saudara-saudara!” Aku malah berdiri sekalian membenarkan tali dan fokus senter kepala yang dipinjamkan Hira. Buyar konsentrasi terus-terusan dirisau gurau, bisa-bisa teler-keteter takkaruan. Kertas konsep di kantong jaket akhirnya diboyong jepitan jari.

     “Masih suasana hati: There tersayang, sebenarnya hari ini ultahku.” Ketimbang nggak kelihatan setan-setan penasaran bertampang jerawatan, sengaja kupicu bebas cekakak-cekikik.  Lalu dengan tebal telinga kutelurusi cincin rotasi api unggun, peragaan menggeliat ala kinesika saatnya digelar. Berdansa dengan lidah api:

Bayangkan dia tidak memiliki sepuhan emas atau huruf-huruf ‘neon box’ warna-warni mewakili, siliran angin serasa risi menemani cahaya visual di setengah malam ini, siapa plakat nama Ceremai selain penyendiri dari tampuk vulkan memerah bara?* Aku penyandang nama anak tiri yang ditinggalkan, si bengal yang tersumpal di dipan sesak ‘panti asuhan’, anak angkat yang terjebak ketidaknyamanan sekapan benak.

Dulu juara kelas, sekarang teman belajar There. Mau guru atau kawula sejati, mau atau ataukan atau, sekerut otakku gencar mendenyut sesaat dikecup kangkung-kangkung kecut. Kutinggalkan teman bermain, teman sekolah, teman seperjuangan, dan terdamparlah kesertaanku di sini, di butiran pasir halus yang terlalu rumit merekam jejak kaki selain rincian remeh-cemeh afirmasi. Aku tercerabut bentuk: kata per kata.

Dahulu, tiap perayaan ultah di pendopo tanah liat sekolah, kami membentuk formasi lingkaran dan serentak membetot senar urat-urat leher persis di lirik ‘Tiup lilinnya, tiup lilinnya’. Aku dan bocah-bocah desa, siapa peduli siapa-siapa yang ultah, bagai astronot yang gagah perkasa setelah sibuk menyelesaikan tugas mahapenting di alam semesta. Keselamatan jiwa disambut riuh rendah tepuk tangan penghuni bumi. Di hari ini, di jam ini, di detik ini, taklagi seribu lilin gelas kilaskan tanggal itu, taklagi sejuta bintang menanti-nanti lentera kertas melarung itu, taklagi satu pun kue tart melayani keagungan bersejarah api lilin itu. Terima kasih.

     Tanpa mawas diri di bawah plang agnosia, perhatian mereka kerap kali monolog:

Hai, engkau, anak-anak yang dinaungi curahan sinar-sinar perhelatan, sedangkan sebagian daripadamu melambaikan tangan, masihkah sayup-sayup sentimentilkan mimpi-mimpi skizoid: telinga pekanya menebal, kulit sahajanya membisu, mata pendengarnya memekak, lidah penglihatnya membuta?

     Dari tart kecil di menara gading, prisma kangkung asin memindai cahaya refleksi:

Dapatkah lihatmu melalui darah di nadi kita membagas ‘espirit de corps’? Singsingkan malammu,  bebaskan fajarmu. Aku merasa engkau, aku merasakan hati emas. Engkau menggarami hari tanpa tanya.**


Keterangan:


Lyrics to “Song of the Lonely Mountain” by Neil Finn



Far over the Misty Mountains rise

Leave us standing upon the heights

What was before, we see once more

Our kingdom a distant light

Fiery mountain beneath the moon

The words unspoken, we’ll be there soon

For home a song that echoes on

And all who find us will know the tune

Some folk we never forget

Some kind we never forgive

Haven’t seen the back of us yet

We’ll fight as long as we live
All eyes on the hidden door
To the Lonely Mountain borne
We’ll ride in the gathering storm
Until we get our long-forgotten gold

We lay under the Misty Mountains cold

In slumbers deep and dreams of gold

We must awake, our lives to make

And in the darkness a torch we hold

From long ago when lanterns burned

Till this day our hearts have yearned

Her fate unknown the Arkenstone

What was stolen must be returned

We must awake and make the day

To find a song for heart and soul

Some folk we never forget

Some kind we never forgive

Haven’t seen the end of it yet

We’ll fight as long as we live
All eyes on the hidden door
To the Lonely Mountain borne
We’ll ride in the gathering storm
Until we get our long-forgotten gold
Far away from Misty Mountains cold.





Tart Ultah Jadi Kangkung Asin (I)


Pengantar Renungan di Puncak Ciremai

     Ehem, kali ini terlintas kenangan masa kecil, belajar menyaur kangkung. Setelah menumis racikan bawang, plus ebi dan teri medan, terjunlah dari langit ke kawah, pucuk-pucuk daun nan segar bugar.  Instrumen drumben sekonyong-konyong memancar cipratan gebyar-gebyar penuh suka cita. Apalagi yang dinanti rekahan detik berselang, seremoni menyambut kristal-kristal garam menggelimang. Giliran baton separas sutil memegang kendali derap mars. “Bur, bur, bur, aku dicebur. Pas, pas, pas, takaranmu pas.”

     Si Mbok menyela, “Ingat-ingat, lo! Itu kangkung.”

     “Eit-eit, berkicau rupanya. Keren kan anak laki koki? Ya-ialah, siapa bilang nasi goreng, laki juga tahu. Tapi sama, kan? repot amat dicicip, ciumi saja. “Hem, hem, hem, harummu menyiksa.” Belum juga tarikan suara kecantol nada, e-eh, para calon kontestan hijau itu rapuh dan menyusut. Kok bisa, ya, pada kempis? O-oh, Fortuna kecele; mayoret memungut tongkat jatuh. Kepala yang mengawang-awang selelangit dapur, ambles ke kantong lebar magma kosong. Semula terbayang semangkok besar, betapa sepiringpun dikau sukar. Benar-benar bikin kaget. Terima kasih.    

     Usai doa pembuka makan, spontan kuserahi pengakuan. Kancah rasa yang berlepotan iler-iler malu, perih yang menisik sayatan sadar, telah tawar di hirauku. “Nggak dimakan, nggak apa-apa,” lirihku dingin mengakhiri. Mbok pembatu rumah di sudut meja, ibu dan bapak angkat di sebelah There, saling melempar pandang dan termesem-mesem adem.

     “Kondrad sudah tahu toh, Mbok? Ibu nggak pelototin kangkungnya, yang penting niat awal. Ayo kita rayakan satu pemelajaran.” Ibu mengamini maafku. Anggukan Mbok begitu meyakinkan. Dialah yang sarankan tambahan gula. Ya, cuman itu hidangan sayuran tersedia. Mereka sekeluarga tetap melahap masakan kangkung superasin hasil sok tahu berlimpah ruah di mangkok somplakku.

     “Nak Kondrad,  nggak terlalu kok. Enak kan, Pa?” Ibu yang kebetulan Kepsek sumirkan tanya. Tahu dah mana yang benar, saat mencecap kuah, terdengar tendangan kecil Ibu ke kaki Bapak.

     “Hem, mau … nyung … sep, eh, mak … nyusss,” Bapak tersendat. Jambang dan janggut ikut –ikutan jalan cepat. Ha-ha…. Mengapa selalu, ya? di tangan merekalah hadir nuansa teduh dan damai.

     “Dalam hati: Ibu, Bapak, Mbok, dan There-ku tersayang .... “

     “Suit-suit,” entah dari mana sambutan lenong ini. Jenderalkah, atau si ceking-pintar Nanang, si necis-magis Umar, si solis melankolis Alie, si raja mikrofon Hirah, di pangeran plontos Sutan, si babe perawi Gatot, si penyair darwis Bara’, si kritikus dawkins Gustav, atau …? Ya, cewek jarang sekali interupsi, paling-paling melempar senyum. Atau jangan-jangan si abah penunggu Ciremai dari tadi mondar-mandir sewot.

     Lirikan sahabat menirus ke satu penjuru. Dessy caem khusyukkan diri. Tertata di tangan seikat sutra flora: edelweis. 'Apaan, sih', dugaku hatinya mengkel. Andai saja tersirat mengerti, syukurlah. Andaikan tersirat lelah menahan kesal, wah, berabe ini. Andaikata tersirat misteri imajinasi Phantom sedalam samudera, waduh, menyerah ini.*
    
     “Ealah, pengantar renungan, Kawan, p-e-n-g-a-n-t-a-r, tar, tar, tar. Memangnya rahasia resep di dapur umum. Ningnong-ningnong, oi, boleh dilanjutin?” Bentuk mulut dipoles polos.

     Lagi-lagi cuap asal mangap beruntun candu. “Oh, ya, terus dong!” “Teruskan perjuanganmu!” “Teruslah Ente bernyanyi!” “Hem, asin sampean kebelet ehem.” “Oi, There apa There?”



Keterangan:




Antonio Banderas & Sarah Brightman - Phantom of the opera

In sleep he sang to me

In dreams he came
That voice which calls to me
And speaks my name
And do I dream again?
For now I find
The phantom of the opera is there,
Inside my mind 

Sing once again with me
Our strange duet
My power over you
Grows stronger yet
And though you turn from me
to glance behind
The phantom of the opera is there
Inside your mind 

Those who have seen your face
Draw back in fear
I am the mask you wear 

It's me they hear 

My spirit and your voice
In one combined
The phantom of the opera is there
inside my mind 

Is that the phantom of the opera?
Beware the phantom of the opera 

In all your fantasies you always knew
That man and mystery 

Were both in you 

And in this labrinth
Where night is blind
The Phantom of the opera is here 

Inside my mind 

Sing, my Angel of Music! 

He's there,
the Phantom of the Opera..




Getaran Jemarimu Berimajiner


izinkan dia meminjam getaran jemarimu berimajiner

kau …

titik api menawaki  
anggitan gita mengikuti
keausan temporal memunggungi
telanjang padanya mutiara di kaki  

menjalari senarai semural imajinasi
spektrum lirisliris monoton beranomali
pelurupeluru menggatra di dinding janji teruji
perpanjangan selongsong A – Z di guha stagnasi

terkecuali penyegeraan kesunyian menunjukkan diri
kau keanjaan yang labil tersentak desingan meratapi?

enggan menerima jalan spora bermirakel menapaktilasi
penafian tirani langit runtuh di bawah bendera putih lesi
kesalahan terbesar kedua bola mata narsis di satu dimensi
mengaras sadar dan pengakuan sebatas syurga resistansi


kau …

meloka dari bening mata meneroka bumi
sungguhpun sirap inspirasi menyerap darah
berbutitbutir aksara sandarkan mahaimaji
sungguhpun mulut berlimpah kaca pecah

keseutuhan matahari kekar melambari
sungguhpun terpasak debudebu fakta  
berdebardebar aurora di jemari menari
sungguhpun maaf membiarakan kata

lima tahun tersirat spirit teramat jengah tersayat tanya
sulingan alami melayatkan basis kedahagaan yang sama
penyanggga nafas terakhir berakhir di lembaran terbaru
saatnya bersimpuh membingkiskan persinggahan waktu  

terkecuali penyegeraan misteri tertata di pelataran sendiri
kau keanjaan yang menyangkal diri dan gentar merenungi?

hingga kakinya sejati mengenali kesaksian yang nyata terjadi 



Catatan : Salah satu referensi inspirasi dari lagu 21 Guns – Green Day. Lirik terbaca (awam) bermakna dalam. Hanya renungan pribadi, khususnya di lirik 'Like a liar looking for forgiveness from a stone'. Keren.






Do you know what's worth fighting for,
When it's not worth dying for?
Does it take your breath away
And you feel yourself suffocating?
Does the pain weigh out the pride?
And you look for a place to hide?
Did someone break your heart inside?
You're in ruins

One, 21 guns
Lay down your arms
Give up the fight
One, 21 guns
Throw up your arms into the sky,
You and I

When you're at the end of the road
And you lost all sense of control
And your thoughts have taken their toll
When your mind breaks the spirit of your soul
Your faith walks on broken glass
And the hangover doesn't pass
Nothing's ever built to last
You're in ruins.

One, 21 guns
Lay down your arms
Give up the fight
One, 21 guns
Throw up your arms into the sky,
You and I

Did you try to live on your own
When you burned down the house and home?
Did you stand too close to the fire?
Like a liar looking for forgiveness from a stone

When it's time to live and let die
And you can't get another try
Something inside this heart has died
You're in ruins.

One, 21 guns
Lay down your arms
Give up the fight
One, 21 guns
Throw up your arms into the sky

One, 21 guns
Lay down your arms
Give up the fight
One, 21 guns
Throw up your arms into the sky,
You and I



Bur, Sensasi Bukan Selalu

Baru saja si ujung kaki menyentuh halaman depan Sekolah Dasar, terdengar teriakan seorang anak perempuan, “Om, Om! Neo pacar aku ya, Om!”

“Oh, yah?” sembari menghela nafas waras dalam tabung atmosfer, “Sini-sini!” lantas menghembuskan wibawa menyambut sangkakala ‘aneksasi wow’ seketika. Duh, semacam gertakan harus semacam anak alien. Perawakan mungil, wajah imut-imut, serasi. Ia mendekati.

“Siapa namamu, Nak? Kelas berapa?” basa-basi superficial.
“Fenny, Om. Kelas satu,” suara natural superstar supercuek.
“Oke, boleh kok. Tapi seterusnya harus baik-baikan, ya!” suara berat kebapakan dibuat-buat.
“Terima kasih, Om,” sederas supersonik.

Ibu-ibu penjemput saat tertangkap mata tersenyum tersipu-sipu. Entah prihatin entah kegelian. Atau bapak-bapak malah keceplosan logis iseng-iseng rentetan :

Wah, zaman edan ini. Orang tua lebih dulu terhuyung-huyung ditembak paksa di lapangan terbuka. Sekarang begini, 10-20 tahun lagi? Terbayang amat memalukan si alien kelak beranjak dewasa teringat-ingat kembali? He-he, belum tentu. Besok pun berat berakhir ringan. Tus, tus, tus, putus. Kapan pacaran itu pernah, sasaran ‘bukan selalu’.

Lalu, mengapa si ayah menyerah saja anaknya dipuah serupa komet langka tak ubah? Mungkin tersingkap penemuan baru berabad-abad diburu seakan-akan. Mungkin bumi mulai bosan dan mengekalkan iri kepada para penanya polaris penyesuaian. Dilema memaksa konservatif atau moderat setengah hati berulang-ulang lintasan. Keseharian kini samar-samar terasing di lingkar visi barangkali. Memori cinta pertama ayah mewanti-wanti barangkali.  Seru menengarai malu pun tabu inilah bagian merupa.

Yang mengaku di bagian pengantar, yang ini pacarku, yang itu pacarku, menjelma di bagian terminasi kutukan. Bur, takhenti masing-masing hanyut bergelut kesumat susulan. Bur, taklagi bergelembung udara selama ketabuan tanya menggangsir ruangan berpikir selalu.




Keterangan:
Direlevansikan dan terinspirasi dari lagu Supermassive Black Hole, Muse. Kebanyakan lirik lagu memang multiinterpretasi. Namun terbaca di balik rumor atau sensasi mirip-mirip selebriti adalah perangkapan pencitraan di luar dirinya sendiri.





Supermassive Black Hole by Muse


Oh baby dont you know I suffer?

Oh baby can you hear me moan?

You caught me under false pretenses

How long before you let me go?



You set my soul alight

You set my soul alight

(You set my soul alight)
Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the supermassive

(You set my soul alight)
Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the 'supermassive'

I thought I was a fool for no-one
Oh baby I'm a fool for you
You're the queen of the superficial
And how long before you tell the truth

You set my soul alight
You set my soul alight

(You set my soul alight)
Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the supermassive

(You set my soul alight)
Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the 'supermassive'

Supermassive black hole
Supermassive black hole
Supermassive black hole

Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the supermassive

Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the supermassive

(You set my soul alight)
Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the supermassive

(You set my soul alight)
Glaciers melting in the dead of night
And the superstars sucked into the supermassive

Supermassive black hole
Supermassive black hole
Supermassive black hole