Eufemisme Diskriminasi

Momen Kuda Lumping*

Setelah tiada hari tanpa kata-kata musuh, jangan tanyakan, besok, masihkah gudang raksasa kita cukup menampung persediaan makanan. Tanyakanlah kepadaku, siapa yang kita makan hari ini.** Kalap lapar menghalangi pandangan. Epilog serasah sunyi membuka pintu pelampiasan. Syurga alasan-alasan menambun akar-akar penyalahgunaan kekuasaan. Prinsip-prinsip makanan utama para awam. Generalisasi mengorbankan saudaranya sendiri. 

Dalam rangka inkognito lebensraum zero komedi alias kegilaan massal nihil kompromi, Master celingak-celinguk di atas permadani serasah. Di atas rerimbunan azalea, lantas menjelajahi rimba raya pelestari fitrah. Sadar akan bau sengat merekat, radar di telinga Master yang ditatah kerawangan merespons permintaan dengan senyum geli. Ingin hati menebar tawa, ups gigi rumpang sadarkan diri.

Hal senada sediakala dijaga apik. Saking ngotot bersembur-semburan, jangankan tajam formalin dan gas air mata selagi kuda lumping ditunggangi, semburan sinar gama sepersekian detik bertekuk lutut di depan keperkasaan bau Master. Tentu, selagi ditunggangi digarisbawahi.

Bagai kehidupan yang dialiri sungai di bawah samudera, berharaplah jalan di sekitar rumah tidak ditutup, suasana di tempat kerja penuh kedamaian, dan cita-cita di barak-barak tidak masuk kotak, kalau tidak rela membelah diri di atas dokumen pemulihan hitam-putih. Selama pendasaran karena keteladanan, pendasaran karena profesionalisme, apapun pendasaran egaliter yang berlawanan dengan paragraf analog jaminan patronisasi, praktek analog jaminan berkomitmen tinggi, realitas adalah musuh bersama.

“Ampun seribu ampun, Master!” Suara-suara perlahan menghilang dalam lingkaran.

Di bawah kendali efek jera, hipotermia Maestro Mbumble kumat menyerak raga. Rangsangan si empunya rahasia membungkam siapa saja yang pakar menghidu jarak jauh. Berani mencak-mencak, berani cengengesan, tahu sendiri tali peranti. Angker dan memesona, hembusan nafas tak terganjal segumpal rumangsa.

Bagaimanapun enggan rasa dan lelah jiwa menelusuri ada dan tiadanya ahistoris, ada dan tiada segregasi, mudah bagiku melupakan apa yang didengarkan. Sunyi menyangkal karunia horizontal dalam relasi, sunyi memungkari penggambaran serupa aku tercipta, suara-suara sunyi ketiadaan ikhlas. Ringankah bagiku, keluargaku, hadir di sana dan merasakannya? Andai mungkin aku yang menentukan di mana dan kapan dilahirkan, biarlah mimpi buruk menghilang dari lingkaran.

Ibu, saat putaran waktu berlawan arah, saat aku bahagia dalam pelukmu, lelapkah harmoni mendengar petik eufoni? Sedangkan yang kutahu peluru itu satu. Hanya satu saat bahagiaku menyaksikan aku kecil terjatuh ke lumpur-lumpur kotor dan patung-patung hitam berkepala awan merah beberapa langkah di belakang kita. 

“Ampun, Yang Mulia!” suara itu mulai menghilang kecuali satu, “risihkah aku mengindahkan ampun seribu ampun, sementara punca akibat menara akibat sepantasnya menyelesaikan penebusan?“ 

Katakan aku semahir Yang Mulia, aku seakan wajar mengambil alih pekerjaan Tuhan. Seiring waktu seluruh tubuh merebah. Mengapa tiada risih bagiku menjadikan mereka generasi formalistis, dan pelupuk-pelupuk eufemisme resolusi jaminan subur rerimbunan kultivar? Bagaimana mungkin aku menghentikan beban historis diskriminasi yang mengikuti setiap jantung mereka berdetak di jantungku?



Catatan:
Yang Mulia dalam konsepsi manusia unggul.
*)   Darf serial yang masih acak
**) Moto yang dicandakan seorang dosen politik, kuliah pertama Kasim.
Serial lain terkait:
Mahatahu yang Entah
Revolusi
Combro Terdistorsi Tsunami
Kami Bandwagon-mu
Catatan tentang Inspirasi



"Do Or Die"

In the middle of the night, when the angels scream,

I don't want to live a lie that I believe.
Time to do or die.

I will never forget the moment, the moment.

I will never forget the moment, the moment.

And the story goes on... on... on...

That's how the story goes.
That's how the story goes.

You and I will never die.

It's a dark embrace.
In the beginning was life, a dawning age.
Time to be alive.

I will never forget the moment, the moment.

I will never forget this night.
We sing, we sing...

On... on... on...

That's how the story goes.

Fate is coming, that I know.

Time is running, got to go.
Faith is coming, that I know.
Let it go.
Here right now
Under the banner of heaven , we dream out loud
Do or die, and the story goes
On... on... on...

And the story goes on... on...

This is the story

Fate is coming, that I know (this is the story)

Time is running, got to go (this is the story)
Fate is coming, that I know (this is the story)
Let it go.
Here right now,
Under the banner of heaven, we dream out loud
Dream out loud!
Fate is coming, that I know (time to do or die)
Time is running out (time to do or die)
Fate is coming, that I know (time to do or die)
Let it go...

Link lirik lagu 30 Seconds to Mars