Untuk Nafas Ayahku, Terima Kasih Tuhan

"Opa nanti seperti mbah, dikuburin?"
"Tidak bang*, Opa pasti sehat lagi."
"Kasihan Opa, nanti kita lihat yuk. Kita doa, biar opa cepat sembuh."
----------
Rasa menyesah tulang dada, nafasku seakan terlempar sia-sia. Sudah juga merintih, hilang bentuk segala mimpi. Seketika tak hendak berpaut lagi, kepalaku tunduk meratap kini. Bergetar dalam jeritan ketakutan, kata-kata hening meluluhkan. Imanku dalam kepasrahan. 

Yang Maha Pengampun, dalam kesah deritanya, namaku ia sebut-sebut, "Pulang anakku, pulanglah Nak. Mana dia. Mana ...?" Apa yang harus kusebutkan lagi, untuk namaku sendiri, namaku. Siapa sebenarnya aku Tuhan, siapa? bagi ayahku, bagi anakku. Mengapa begitu berarti? Apa salahku kepadaMu? apa dosaku dengan cobaan berat ini?

Jika memang Engkau ambil nafasnya, 
biarlah ia menatap wajah kami
untuk saat-saat yang terakhir,
ia menerima untuk sekali lagi bersamaku
sekali lagi Tuhan, sekali lagi
sungguh degan sadrah kumeminta

Jika memang Engkau mendengarkan
harapan cucunya, doa-doa anaknya
berilah kami kerelaanMu, 
berilah kekuatan iman
percaya sungguh-sungguh percaya

Iman kami akan kehadiranMu
iman yang menyelamatkan
iman yang menyembuhkan
iman penghiburan
iman dalam pengurapan
selamatkan dia
ayahku

Apa yang mesti aku lakukan atas jawaban, apa yang mesti aku persembahkan atas nama, Pemilik Kuasa Segenap Kehidupan ialah karena, misteri di balik deritanya adalah tatkala, vonis manusia tanpa harapan lagi demi, minyak pengurapan akhir bagi, ketahiran dosa-dosa ketika, kehendak kuasaMu untuk berkata, TERJADILAH.

Tiada ada lagi yang lain selain kerelaanku. Begitu pasrahku pada kuasaMu. Betapa iklasku kepada panggilan rencanaMu. Dari detik ke detik. Serasa menanti sentakan ayunan palu mahkamah. Janganlah Engkau memindahkan ruang jiwanya. Aku memohon atas persinggahan hidupku. Aku memohon atas mautku. Aku :

Berdoa dalam namaMu, 
janganlah harus terhenti
ia menyebutkan nama itu 
sebelum tiba saatnya 
doa-doa kami bersekutu

Kami yang terikat urat-urat batin yang sama 
sesungguhnya adalah juga ciptaanMu 
demikianlah darahku yang berbicara di raga anakku 
bagaimana pun terikat dari darahnya
yang sama

Laknatlah jiwaku, ambillah nyawaku,
terimalah hidupku menjadi kehendak pengorbanan terlebih duhulu 
demi perjumpaan terakhir, demi namaku disebut, demi pertobatanku
jika memang karena rudin iman ini, jika memang itu semua yang harus terjadi
Dalam penyertaan damaiMu 
dalam keagungan namaMu
aku percaya. 

--------
Dua hari telah berlalu.  Alangkah indah kecerahan cahaya pagi ini. Semakin mengubah pandanganku akan kehangatan kasihNya. Kekuatan itu nyata berkah Tuhan.

"Tapi kita nanti tetap ke sana? Aku mau lihat Opa, aku mau ketemu Oma."
"Bang, kata Oma, Opa sekarang sudah mulai sehat setelah diurapi. Makannya banyak sekarang. Opa titip pesan untuk Abang, akhir tahun dia ingin ketemu. Semoga kita tetap ada rezeki ya Bang. Nanti kita syukuran lagi di sana. Nah, inilah satu lagi bukti Bang. Tuhan sangat baik kepada kita, kan?"
"Karena kita sudah berdoa."
"Kita harus benar-benar percaya. Mulai nanti malam, kita mulai berdoa. Begini doanya. Kita bilang ke Tuhan, setiap satu sendok makanan yang masuk ke mulut Opa, Tuhan, titipkan satu doa kami."
"Iyah Ayah, aku ingin dipeluk Ayah."
"Oke."
"Nanti kalau aku sudah besar, Ayah jangan sakit," anakku meminta.

Di saat apapun, saat namaMu kusebut, jiwaku yang meminta-minta jamahan kesembuhan bagi siapapun, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar. Maka bagi hamba yang hina ini, tiada persembahan yang terpantas, tiada ada yang berkenan melainkan, biarlah takjub kami akan kasih sayangMu, segala puji dan syukur akan rezeki batin, siksaan yang telah karuniakan keselamatan, ketulusan hati kami bernafiri sukacita, di hadiratMu Engkau dengarkan. Amin. 

--------------
Keterangan : *)Panggilan untuk anak laki-laki. Referensi inspirasi bersama musik Youtube : Immediate Music - Believe. Tulisan diedit ulang dari http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/11/28/untuk-nafas-ayahku-terimakasih-tuhan/ .

Ringkasan : Opa (kakek) ini mengalami situasi kritis karena menderita diabetes. Setelah pengurapan akhir, infeksinya justru berangsur kering. Padahal saat itu tidak ada tindakan medis lain setelah operasi. Dokter bahkan mengatakan, tinggal menunggu waktu. Renungan, dengan media/sarana dan agama apapun, peristiwa luar biasa tentu bisa terjadi, berlaku bagi siapa saja. Seperti kepercayaan yang begitu kuat di dalam dirinya sendiri, yang sesungguhnya telah menyelamatkan Opa. Karena masuk ke wilayah iman, Yang Maha Esa turut berbicara. Terima kasih karena terinspirasi dari kisah nyata ini. Semoga iman adik-adikku (sahabat sekalian) semakin teguh dan kokoh berdiri. Percayalah! 

Di Sana Bendera Setengah Tiang, ........

Gemuruh di dada, seia sekata
derap kaki-kaki, melangkah
Adakah
nyawamu juga,
nyawaku?
.........

Wahai engkau di bilik bungker
lama kawat-kawat berduri, angker
Adakah
sangarmu juga,
sejarahku?
.........

Tangis ayah ibu mereka, kering-kering
ratapan aktivis perubahan, debu jalanan
Adakah 
dengan RECTSTAAT
haruslah jalan itu mengental, 
MEMERAH? 
........

Kemanusiaan kita, muntahan beraroma
kebohongan demi kebohonganmu
terseduh nyawa-nyawa
serasa benar-benar segar
engkau minum
Sekarang tanyalah siapa
mayat-mayat itu siapa bagi kita?
Adalah,
perih dahagamu
membungkam,
..........

Silahkan berbisik-bisik
tertawa lepas di raga mereka*
dan lihat
di sana, ada sisa mulut muliamu
di meja langit tirani, ada sisa ayat-ayat tangan besi
Bendera kita bertanya ;
Adakah,
limbah hitam
kotori orasi dari air ludah,
kejujuranmu?
..........

Wahai engkau, apa hiraumu?
sampai berabad-abad nanti
bendera itu setengah tiang Saudara
Berkibar-kibar dengan goresan tinta emas ;
Adalah nyata bertanya di atas lembaran sejarah, 
....Negeriku negerimu satu, suara menggelegar ikrar sejiwa
....Tapi mengapa bagimu Indonesia, mereka bukan milik kita 

_______________

*)Korban tragedi Semanggi, alm.Munir Said Thalib,
juga korban Penghilangan Paksa sahabat aktivis.
Reposting dari Kompasiana/BangKemal
Referensi inspirasi puisi dari Youtube : Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu - Wiji Thukul

Dinding Perenungan, Monolog Niskala Mutiara

Memerikan jawaban-jawaban hakiki tanpa menyelami, mawas diri menemani momen kesadarannya agar beranjak pergi. Keberanian pulas, retak paras. Merahimi pengetahuan tanpa cahya nurani, keseimbangan hakekat dan rasa menyekap raga maknawi agar mati suri. Waktu sekarat melepas, sangkal jiwa bernas.

Sesungguhnya irasional beranda euforia maya terhembus menyertai syair melodius ini. Sesunyi sehelai selaput beriritasi, merentang di celah-celah air mata membatu dengan keasrian alami. Berkurun-kurun tertegun di kilauan warna nan anggun, adalah kesaksian riwayat merintih. Mengabaikan tanya mengapa atas tanya, berbincang indera menggatra cahya kekal abadi menerangi. Tiada gentar monolog mutiara menundukkan jaman demi jaman, mencari jawaban linier yang terukir di dinding perenungan. Metafora cakrawala pada cipta cakrawala, bermakna ukiran berelemen purna.

Sang Niskala Mutiara tidak mengira, gubahan sekadar di atas dari kuas imajinasinya, mengalirkan rangkaian kata-kata tertumpah ruah begitu saja. Barangkali saja inilah hasil renungan yang terseduh jawaban simpatik engkau di sana. Ringkas, namun efek cahaya itu menurunkan renungan panjang. Serupa turunan ribuan kapal layar riposta dari galangan yang berbeda-beda, berlayar mencari pasangan serasi proposta, apakah daratan larik mereka berpadanan definitif, atau serasa sia-sia belaka. Sungguhpun pilar-pilar kesadaran akhirnya timpang tersandung garis meridian nol, ambruk tanpa daya saat itu. Awal rima nihilkan makna, ujung parafrasa barisan puisi dinginkan relevansi kata-kata, kala usai satu malam mendayukan aria.

Bagaikan lilin-lilin kecil menilik titik sentrum keindahan dalam kehampaan pertanggungjawaban. Bertahan dalam pesona drama musikal bergenre futuristis, bertahan dalam semunya kencana nirwana fiktif, bertahan dalam ruang gila-gilaan mengekploitir neraka berfantasi, bertahan dalam gundukan syair-syair berlumut imitasi, mampu membebaskan belenggu-belenggu kekosongan makna peristiwa lama. Lupa untuk lupa, selalu untuk selalu, nihil untuk nihil. Tidakkah sedianya mengalir deras, inspirasi beriak-riak bertautan, mengadu dan beradu di tiang-tiang kayu penyangga jembatan kecil, manuskrip-manuskrip telaga inspirasi berikrar setia. Engkaukah di sana untuk aku di sini?

Mengapa, mengapa begitu kejam hawa dingin meremukkan keteduhan bumbungan malam? Seakan-akan bayangan diri tergesa-gesa menghindari, berlari-lari di kejar laskar-laskar memburu dengan pertanyaan yang sama. Bak irama terputus-putus, terlontar segala amarah tak bersuara ke segala penjuru bintang-bintang terjauh, tak jua sensasi tanya itu pergi. Mujurkah nasip telah melumpuhkan alasan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, menjadi seni memahami dalam hening, bahwasanya kesadaran lebih berfundamental daripada tumpukan ilusi?

Bagaimanapun juga, masa memasuki guha kepurbaan dalam perenungan, adalah momen penyempurnaan karakter-karakter berbicara proses memahami dan memanusiakan diri. Niskala Mutiara sejenak menahan nafas beban pendalaman kontras dualitas. Apa yang sebenarnya terjadi, bila partitur kali ini teraransemen tanpa kaidah tepat nalar dan rasa?

Di muka kabut putih yang terhambur melalui mulut sosok tak berbayang tadi, berjajarlah satu-satu artifisial menyerupai Medusa. Ingin rasanya ia kembali berjalaran, memagut seluruh markah lorong-lorong udara di rongga dada. Menjambak sulur kultur baku pikiran dengan kebuntuan kontekstual. Rembesan sisa berbisa merambat, inginkan penaklukkan ketinggian benteng harga diri dalam kesabaran. Kekakuan menyisakan dilema bagi halusinasi akut pencarian pembenaran jati diri. Membius dengan alasan-alasan manjakan pernik-pernik abstrak di jubah kaku membatu, membelakangi jejak suara hati ketika mata terbuka mengusik perhatian di depan muka Medusa. Tiada arah pertanggungjawaban akan nilai ekuilibrium dalam kebenaran dan konsistensi. Adakah pandangan ketakutan yang tercipta berkali-kali, bayangan itu menjadi batu atau cermin yang memenggalkan diri sebagai pangkal penempaan?

Karena terlena gairah semusim, embrio-embrio beralasan ini masih berada di area intro seritmis gerak alamiah tubuh. Di pinggiran dinding gua berleluasa, menganggit jawaban bermakna. Mampukah penerimaan ujian nyata dan maya ujudkan keutamaan sandaran nalar semata? pengalaman membaurkan diri ke inti alam pikiran konduktor, arti tematik mengiring, menuntun dan bersanding ;

Pembelajaran bersama meneguhkan basis karakter mumpuni, mereka menikmati proses musim berganti. Hingga ketajaman seni hidup terbiasa, fasih mendaras epik kehidupan damai dan meneduhkan. Sebab keseimbangan berbicara pengorbanan dan keberanian kekinian, saat menyeimbangkan hakekat dan rasa, atau hanya jelang ajal rampungkan kesadaran.
---------------------------------------------

Catatan : Seri Baton Konduktor. Bersambung.
Teman inspirasi dari musik Youtube ORGES BIZET - Aria from The Pearl Fishers.
Reposting dari http://fiksi.kompasiana.com/novel/2011/11/22/dinding-perenungan-monolog-niskala-mutiara/

Oi Pengemis Pemilu, Hedonisme Syalala Trilili

Gigi nyeri, kertakkertak pergi
awasi dia, di ujung jari
republikku sana, engkau cuih sini
kabin AC syalala, cacing menggigil trilili

=/=

Di ujung asap knalpot, kubeli nyali
berani mendekat, kutembak nanti
teeeeeeeeeet 
pinggir oi 
pergi
gantian asap di ujung jari
trettetet buih berbuih
trettetet dalih berdalih
klakson pun
ikut bernyanyi

Oi, oi
keras kepala demokrasi berbuku putih ;
nyata aku jenderal terpilih
aku jenderal demi
trettetet buih berbuih
trettetet dalih berdalih

Ini kan itu, itu kan ini, estafet berlari
dulu koarkoar 
alasan pelayan mengabdi
emis hampir mati
muka alihalih
republik pun 
sembunyi


Oi, oi
berputar-putar? wah lobilobi
kelaparanmu? wah ngengsi
busung lapar? wah sepi
korupsi? ditanya lagi.....ii?
matilah engkau, ku kubur mati
oh syalala...aa,  oh trilili...ii

=/=

Ini dia Pengemis Pemilu
laparku tidak lagi lehermu
Heeh, batupun tahu 
lentur dia jadi tahu
syalala borjuismu 
trilili mendidih darahku


Pengemis MaluMalu
kerak nasi dan asapmu
di jantung publik, syalala trilili
muakku karena satu rantai
demokrasi jadi salahku?
Mulut menganga bertahuntahun
syalala trilili
putus rahang otakku
hus, hilang lagi


Wah, tahu begini
pengemis itu, alihalih ini
suara ini, alihalih itu
pestaan idol nanti?
ku pilih anu polos
yang polos anu


Haha, baik kubuatkan dulu
huruhura anak TK berpuisi mengabdi
judul? Oi PILIH AKU aku
AKU PEDULI peduli
oi AKU, aku melulu
syalala trilili

=/=

    trilili                                                 trilili
      syalala                 syalala                  syalala                  syalala
          si Borju                                               si Hedon                                             si Pengemis



------------Keterangan
Referensi lagu, Youtube : Pumped Up Kicks - Foster The People




Berjiwa Merdeka

Di pangkal cakrawala, sampah-sampah demagogis berdiri
hedonisme berlumur nektar, berhamburan merobek kesejatian jati diri
sang jiwa sonder api jiwa perjuangan, gelepar di tapak kaki-kaki, mati suri
meniris tirta, menguras darah, pucat terkapar,
di muka kibaran merah putih
hening suram, hening kelam,
hening terdengar, hening tertampar ;

Wahai nasibmu bangsa, galerimu bangsa beragama
betapa terkoyak-koyak ini jiwa saat engkau
BERPURA-PURA ELOK BERDOA BERALAS TANAH NAGARI

Engkau yang bukan abu perjuangan
tiada gentar terseret-seret pawana peradaban berlalu
di dermaga tempaan yang berbeda,
saatnya semua ini harus diakhiri
Bangkitlah sekar harum wangi aktivis,
elemen-elemen nagari,
mahasiswa-mahasiswi bangkitlah kembali
Mari kepada bangsaku,
junjung nagari merdeka bagimu
laksana bagaskara jiwa-jiwa merdeka,
di raga bangsa kita bersatu
keluar memancar gilang gemilang,
Indonesia Tercinta berseru ;

Terimalah kepercayaan ini,
kepalan tanganmu juga gita di sukma kami.
Karena pancaran itu mengukir satu kesatuan arti bersejarah,
MERDEKA ATAU MATI ;

Aku tidak menghukum anak-anak bangsa sekalipun engkau berlindung,
pemimpin-pemimpin sekalipun ada yang bermental pengkhianat.
Sebab, angka-angka kesenjangan dan korupsi yang tersembunyi,
dan rakyat yang miskin mati kelaparan karna nasionalisme pura-pura,
ratapan telah membiarkan nama besar negara terpampang di batu nisan sejarah ;
Runtuhnya sebuah bangsa yang menggali liang lahatnya sendiri tanpa disadari
Doa dan kemboja di petilasan kita menanti

Atau

Tetaplah membumi api jiwa merdeka
yang menantang deras arus penindasan semesta.
Di media perjuangan dalam kata-kata, 
di medan pelaksanaan kata-kata,
ia memaknai hakekat berbangsa.
Gambaran itu terlahir ada,
dan menyangkal kegamangan, kecemasan, keraguan
Rumit bertendensi di pikiran sederhana,
hanya karena keinginan daging dan darah berkuasa fana
Sebab, manakala terhayati esensi, 
perbuatan adalah identitas kesejatian diri
Dengan khusyuk bersyukur,
jadilah saksi pranata keilahian di jiwa persada, dan yakini
kehakikian terkandung dalam karuniaNya,
Tuhan Yang Maha Esa memberi kita jiwa merdeka.

____________

Catatan khusus :
Nomor 190, BangRe Kemal - Ricka Desuka (akun fb terdaftar). Puisi lanjutan (Bang Kemal - Sunny Huang), Momen III/ Berjiwa Merdeka, untuk FPK. Terinspirasi dari Pidato Indonesia Menggugat (bagian Kekuasaan Semangat) :

Ketahuilah! Senjata tiada menyinggung hidup,
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
Tiada angus oleh angin yang panas,
Tiada tertembusi, tiada terserang, tiada terpijak.
Dan merdeka, kekal-abadi, dimana-mana tetap tegak.
Tiada nampak, terucapkan tiada.
Tiada terangkum oleh kata, dan pikiran.
Senantiasa pribadi tetap!
Begitulah disebut Jiwa.


Cukup banyak kutipan-kutipan, salah satunya dari Bagawad Gita ini. Disebut sebagai nyanyian ilmu ketimuran, untuk menegaskan bahwa yang dimaksud bukan kekerasan, tetapi semangat adalah senjata. Sebagaimana di lanjutan pidatonya sendiri :

Siapa bisa merantai suatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dirantai?
Siapa bisa membinasakan sesuatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dibinasakan?

Terimakasih FPK, Selamat Hari Sumpah Pemuda
Reposting dari Kompasiana tanggal 28/10/2011 (BangKemal)        
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/10/28/fpk-berjiwa-merdeka/ 
Link referensi musik, sumber Youtube : http://youtu.be/m9DpT7354Lo

Balada Jukung Kelana (Fiksi Kolaborasi Sumpah Pemuda)


Momen I/ Mari Bertanya


Hening terkesima benak melarung, tenang landaikan riak jukung
bagaikan lembut gemulai ombak menggetar rasa
berpangku teduh di hibahan suarga nusantara

       upakara isi jiwa damai turun-temurun, ialah berhikayat sejarah
       terpatri dalam pranata ini jiwa, sakaguru harinurani kita MERDEKA
       karunia keilahian itu sesungguhnya, hanya karna Allah


Bangkit berdiri di atas jukung, alunan nada selaras membawa
angin bersilir manja membelai wajah, mata terpana permadani nusantara
memuja elok untaian ratna manikam, sekejap degub menahan nafas, bangga
balada rindu ini, rindu tembang bergema

Duhai cinta anak nagari, dendang sang atma riang menari
memercik buih-buih di nuansa peradaban bangsa-bangsa
entah kemana jukungku kelana, saatnya tersesap tanya ;

    Berteriak sudah gegap gempita, saat memori terikrar sama
    Lama merekat sejarah bersimbah darah,
    tonggak nasip pun sama samsara
    derak kertak batang leher junjung duli seni negara
    namun dera dan tulah tak jua kita jera
    Mengapa dingin kian memiris nadi, lesu gelora mendekap suara
    Inikah keutamaan titian emas, satu dalam pengabdian kata-kata
    Inikah titisan kuasa langit utopia, sanubari menjilat ludahnya sendiri
    Semakin busuk dan karat daya juang menguasai
    serasa derap menyentak dada
    gelora itu binasa  


Momen II/ Krisis Akhlaki

Di kala kulit dan otak orang lain punya kita pakai
hakekat jiwa bernas pun berlabuh menepi
tiada lagi tangan tergenggam harmoni
seni budaya berterali degradasi
negasi nilai asri lestari

Berpuluh-puluh tahun ribuan jukung tersingsing badai
kandas terhempas, karam, berserakan kerangka di dasar karang
nihilkah kearifan kepemimpinan nagari ayomi,
pemimpin bijak bestari, berprinsip, bernyali
sulur leluhur seakan tercerabut paksa,
arak-arakan menggiring keserakahan dengan pasti ;

   Jukungku pura-pura berpancasila
   jukungku buta bernama serakah
   budaya baru berbusa rentan meracuni akal budi
   bangsaku berlarat-larat dalam segara tabiat korupsi  


   Jaman gamang memiuh makna bersatu menjelma
   seribu anak panah nalar lugas menghunjam, ujudlah krisis akhlaki
   terbang-terbang ia seperti binatang penyerbuk milenium
   di kaca-kaca dependensi
   pembangunan niraksara berdikari
   daya pusaka termangsa obligasi
   Kawan! ini cara pandang, ini waktu, ini visi
   berpura-pura 


--------Keterangan :
Selamat Hari Sumpah Pemuda
Fiksi kolaborasi BangKemal - Sunny Huang
Momen III/, dipersembahkan untuk FPK
Referensi musik Youtube Chopin Larung : http://youtu.be/PWR157d4AWI  
Link terjemahan sebagian lirik (berbahasa Bali) ;
http://aprilsnotes.wordpress.com/2011/06/08/chopin-larung/
Reposting dari Kompasiana/BangKemal, 28/10/2011. 
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/10/28/balada-jukung-kelana-fiksi-koloborasi-sumpah-pemuda/

Gen Harlot Bunga Mawar

Aku adalah liar bunga mawar
yang mencoba menabung peluh demi mimpi di jejak kaki
Ku serahkan seluruh kemaluan dan waspadaku dengan senyum tegar
untuk jalani hidup penuh percaya diri

Aku gen Harlot di mazbah kesadaran
yang memberikan bahagia dari getiran air mata
dan segala marahku untuk harumnya luka masa lalu
Ku serahkan kepolosan dan keegoisan ini pada hidup
dalam kesederhanaan sewajar awan putih
untuk genapi hidup penuh pembelajaran

Akulah tubuh ranum di ranjang realitas hidup
yang membuka lebar kakiku,
dan menutupi ruang hati saat menapaki masa depan
Ku serahkan kesabaran dan kecermelangan rasionalku
untuk jalani kesuksesan,
di tangga-tangga episode kehidupan

Ya,
Aku seorang wanita dengan ribuan angan
yang sudi memberikan hasrat, keinginan
tubuh, pikiran, untuk kebutuhanku
Tapi jangan menghakimi penyerahan ini
dari mulut sempurnamu
K a r e n a   i n i   a d a l a h   h i d u p !

_________

Nomor 190, BangRe Kemal - Ricka Desuka (nama akun fb. terdaftar)Puisi lanjutan,
Momen III/ Gen Harlot Bunga Mawar (kolaborasi Bang Kemal - Sunny Huang), untuk FPK.
Reposting Kompasiana/BangKemal, 28/10/2011;
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/10/28/fpk-gen-harlot-bunga-mawar/
Referensi musik intrumental Youtube, First Rain, mengalirkan inspirasi.

Momen di Meja Kehormatan (Fiksi Kolaborasi)


Momen I/ Tangisan Perempuan Hamba Sahaya

Di ajang jamuan malam pemuas lapar dan dahaga, terhidanglah beban hukum dikotomi. Bagai pisau yang membelah dengan presisi berkuasa: bersih, agung, suci, terhormat, seraya sisi lain tersisih dari piring estetik emas dan selaka. Simbolis hidup mereka, berabad-abad lazim dan sahih bernilai tukar. Kepala perempuan hamba sahaya tertunduk setelah memandang cermin yang membinarkan mata ego ke seluruh lelangit. Betapa kita latah di batas ruang dan waktu. Sulur bayangan milik siapa lagi yang harus melahap rakus sisi-sisi lain yang tersisa di lantai mozaik jiwa mereka?

Dengan anggun atas nama kebenaran di bawah kaki meja kehormatan
adakah di antara kamu sudi meramahkan diri bagi keluarga kami
memopong anak-anak papa kala meminum lumpur
suapi para jompo tanpa kerikilkan batu
tiada hakimi kekerasan
menjagal keadilan
menista tubuh
menjajah sisi lain
membersih nanah sendiri
tatkala bekerja siang dan malam 
mereka menukar semua tuduhan gen wanita
demi pelecehan kebenaran melata di dasar lautan tanya
sekian abad, siapa sesungguhnya kami dan liar di kuk kodrad ini

Jauh di lembah usang, masih mengalir air ludah dari bibir mayat hidup, menggahar matahari dengan pesan menggema setelah sang hayat menghindari kebusukan, 

“Jangan jadikan klaim atas nama kehormatan dan moral berlimpah nafas suci, membuatmu diam terjebak kepada telinga yang tulus mendengar pertanyaan itu. Atau menerima air mata menjadi darah baru bercucuran di atas raga jawaban hampa karna jiwa berdalih, apa yang sebenarnya mereka lakukan. Karna tuli itu tangisan panjang perempuan sahaya.”

Momen II/ Hening Lelap Malam

Malam ini, ku percayakan pengekalan kepada mereka yang setia memangku rebahan. Dengan senandung mahasempurna semesta hibahanNya, ingin kudengar setiap suara persembahan. Biarlah sisa-sisa doa kejujuran tetap berlari riang di hamparan indah nebula-nebula kan membius sadar, aku terbang bersama lelapnya hening sebelum kerinduan menerima dekapan alam:

Kekasih
istirahatlah
meski ku percaya
kuas meniti detik-detik
milenium menyeka kanvas
bersandinglah abad dan adab
perubahan tak membenam serupa senja

Malam kan mengambil panas matahari
malam kembalikan jiwa-jiwa sahaya
kepada rahim kasih semesta alam
kepada jemari fajar keemasan
membernaslah kenyataan
di pundakmu karang
ketegaran

—————Catatan :
Fiksi Kolaborasi Bang Kemal-Sunny Huang
Momen III/, dipersembahkan untuk FPK
Referensi musik inspirasi, Nocturn :
Reposting dari Kompasiana/BangKemal, 27/10/2011

Lirik terjemahan google (Norwegian) :

Let the day/ get it’s rest/ and the night will recede for the day
Nocturn/ Look, the night/ have to go/ so the night can give birth to a day


Cahaya Kristal Matahari, Dia Tidak Peduli

Semua yang pernah ia lakukan di ruang memoriku, semuanya, dia tidak peduli.

Engkau bisa mencabik-cabik kertas partitur segala tumpahan himneku. Lemparlah kemana saja.  Di sela sampah-sampah, di tempat yang paling hina berkubang lumpur, sesukamu. Aku akan memungut dan rekatkan serpihan yang terbuang itu. Silahkan. Walaupun urat-urat di kedua tangan ini telah lama menyadari, ia tidak bisa selamanya menemanimu, aku di tempat itu melakukan apa yang seharus aku dilakukan.  

Engkau bisa berpaling dan lari menjauhi taman wiramaku. Mencabar seribu gunung, merintangi lembah-lembah, arungi sungai dan samudera, hilang sudah rekam tilas, silahkan. Aku akan naungi rebahan sirna tanpa telingamu sudi mendengar. Sekalipun kedua kaki ini telah lama isyaratkan, ia tidak bisa selamanya bersamamu, aku di taman itu melakukan apa yang seharus aku dilakukan. 

Engkau bisa membanting jendela cahaya sekeras-kerasnya di hadapan ruh syairku, bila dingin mematikan perlahan tersentuh di kulitmu. Detik demi detik, hari demi hari, lakukanlah. Aku menanti di ujung musim berganti, tiada kan redup menangkup ibamu. Sudahlah, bara di jiwa ini telah lama mengetahui, meski tidak bisa selamanya bersamamu, aku di balik jendela itu melakukan apa yang seharus aku lakukan. 

Dia tidak peduli, keutuhan kontekstual yang pernah melatari musikku, semuanya. Dia menyeka matahari dengan kehangatan sapa di jiwaku, "Tidak peduli hari-hari kekalahan pertarungan batin, berlari dengan borok nanah di tapak kaki, semua aral di jelang. Aku harus lebih baik daripada kamu. Impian indah kebersamaan insan di atas mimpi-mimpi, alam semesta takkan pernah membatasi. " Ia hanya tahu bagaimana harus mengembalikan belahan jiwanya yang hilang, dari apa yang ia ketahui, bagaimana aku pergi meninggalkan dirinya. 

Dia menolak tunduk, setelah melihat dari dekat status kegamangan dan harapan memandang hari esok. Lebur emas harus diuji dengan api, tapi pandangan matanya meleburkan mata batinku seperti kristal dalam ikatan murni. Tidak perduli klaim atas prasangka, air ludah dengan sumpah serapah terhambur di depan rumahku. Karena sesungguhnya, dialah oase kesejukan hati yang mau menerima , dialah mustika embun kerelaan hati yang mau merasakan;

Dia melalui aku, adalah ketidakadilan karena kepongahan berbusung perut yang lapar akan kemuliaan tanah dan tahta bumi, adalah rupa wajah-wajah teradili salah melangkahi kebenaran penghakiman akhir di ujung gapura baka , adalah altar bagi tiadanya pengakuan segala tumbal bak sampah beraroma busuk sepanjang sejarah. Dialah, kecemasan dan ketakutan karena daging dan darah yang terkungkung ruang dan waktu. Hingga genaplah yang tersurat, betapa manusiamu bukan neraca keadilanku. 

Sekiranya aku tahu, bagaimana harus melepaskan seluruh duri berantai yang menyayatkan luka membilur di sekujur hatinya karena dikhianati, dari apa yang dia alami, bagaimana aku pergi meninggalkan dirinya, inilah titis bait-bait jawaban. Satu lagi ayunan baton bertema penghayatan rekonsiliasi notasi dan kenyataan sehari-hari ;                                     

Kristal Cahaya Matahari

Benar, dia tidak memilih 'siapa itu siapa' bagi kesejatian bersahaja 
tidak utama 'sarwa yang ada' milik siapa mengultuskan siapa
Khusyuknya pada satu untaian resonansi prelude piano di konser nanti, hanyalah 
keinginan yang sederhana, pada siapa hendak tersapa,
bagaimana dia menempatkan dirinya kalau bukan di hati kita

Kembara musik tak lekang di tepian mayapada, 
terdengar sabda alam 
Keutamaan pengorbanan tak lekang di tepian jiwa, 
kalam mahardika kan bersemayam 

Mereka-mereka di hadapan lingkar ensambel, akan memetik artistik wiramanya sendiri 
kezaliman ego berkaca pada alur luka-luka batin, bahwa dia tidak perduli 
Sejenak korus beruntun menilik satu jeda sepanjang pilar singgasana harmoni 
Kadensa yang lama diam terpaku durasi sepi
pun diam menanti sentuhan akhir kebeningan gema bersilih
bagaimana kata-kata memaafkan menempatkan dirinya, kalau bukan dari hati
ketika ingin bicara, fenomena itu cahaya kristal matahari

----------
Obrolan facebook masuk, "Bang, aku tahu, inspirasi ini dari mana." "Dindaku.... " Dessy menyela, "Cie, dinda ni ye, jadul ah." "Aku sih lupa. Tapi kata-kata akhir si aktor itu memang luar biasa. Entar yah, mesti tarik nafas dulu, ku ucapkan lagi dengan hela nafas lembut selembut salju. Cinta juga adalah menyerahkan kebahagiaan anda sendiri untuk kebahagiaan orang lain," jelas Kondrad . "Uhuy.. Apalah Abangku ini. Semuanya dijadikan inspirasi. Cinta itu kan banyak jenis dan keutamaannya. Ada yang hilang tuh di depannya. Mencintai tidak harus memiliki."

"Dess, benar, maksudku ada garis yang sama. Sebenarnya seh, sebagian terinspirasi dari konten-konten di blog lain yang kadang bikin panas telinga. Mesti dihadirkan pengertian selaras garis itu." Tiba-tiba disela, "Ah, kabur dulu ah. Tatut salah interpretasi." "Dessy, aku berusaha mengikuti nasehatmu. Kalau nulis itu yah nulis saja. Lepas." Dessy kukuh, "Cyauuuu ah, suka-sukaku, aku kan bisa berubah-ubah setiap waktu." "Selalu begitu, belum selesai bicara udah kabur, ampun dah." Kondrad makin jera walaupun semakin suka dengan 'suka-sukanya' Dessy. 
-----------
Catatan :
Klik teman musik inspirasi. Love is a mystery, Ludovico Einaudi (sumber Youtube)

Panggung Pertanggungjawaban Baton Oratorio

Dia akan berjalan menapaki tangga panggungnya malam nanti. Kerisauan kerap kali terjadi, normal untuk sebuah konser. Namun acara telah teragenda. Musik harus dimainkan, musik harus terus berjalan. Begitulah kecintaannya memerankan diri menjadi seorang konduktor. Dia menyadari, peran seni komunikasi ini harus luasa menyentuh alam bawah sadar. Karena itulah penghayatan semua partitur mesti dilakukan di awal, agar terbentuk pemahaman maksimal dengan lebih merasuki sukma. Tidak apa-apa berempati, "Penyangkalan" menjadi konsep tematik menyeluruh. 

Baton ini harus dibersihkan dulu dari debu-debu. Sekarang waktunya menuntaskan langgam tanya dan taksa yang mengaburkan kejelasan wirama. Seperti menikmati teater musikal dengan tabula rasa di balik lembaran komposisi. Demi sinyal balik jawaban definitif, ia justru ingin berlatih menilik jawaban dengan pertanyaan. Pintu prawacana dengan tanya harus dibuka lebar-lebar;

Adakah satu penyangkalan, engkau tidak harus menyalahkan diri sendiri, atau bahkan tidak harus menerima keadaan bersalah, seolah-olah kutukan takdir berlaku beda, dalam kebebasan tidak ada alasan lain yang lebih membebaskan, selain yang ada di langit ruang kebenaran diri, sungguhpun nihil akar dalam pengungkapan iman? Lalu ayunan baton bertanya, di mana letak sebab keberanian, terutama sekali dimana, keputusan memilih penebusan di atas keputusan memilih kuk minus beban? Satu awal antiklimaks menginvansi perut bumi, kawah dingin membeku, takut berdiri di bawah matahari. Anomali. 

Adakah wilayah netral di antara satu dikotomi ekstrim, kondisi ideal duniawi dan yang sakral, kemanusiaan dan Ketuhanan? Lalu setiap metrum kembali bertanya, ibarat menyerahkan anggota tubuh dari kehidupan ke kematian, di mana titik mula perubahan jika cara sebelumnya mengalami transformasi alasan yang sama? Satu kecemasan ranum tersesap akal sehat, di antara sampah busuk tulang-tulang irasional, di antara bangkai mesin logika. Suram. 

Adakah satu justifikasi dosa putih, langit terang paranada harus dideret notasi bebercak abu-abu? Awan putih lentur menggumpal kepekatan mendung hitam, saat akrobat abu-abu akan lebih terekspoitasi di teritori abu-abu? Lalu otoritas baton sejenak bertanya, dimana letak pertanggungjawaban membangun, memilih, membiarkan, pemindaian nilai subyektif? Tiga mata petir usai memberi isyarat, satu pukulan serentak menyakal kesadaran. Langit hitam menjadi lautan darah merah. Penyesalan. 

Instrumen menguji hakekat layaknya menaklukkan penguasa dunia praksis , "Siapa yang menabur benih kebaikan tanpa syarat, akan menuai sampah-sampah jaman karena berelemen dasar kesia-siaan, melesat ke tubuh anekdot kebodohan." Namun keheningan membentur tembok pertanyaan tentang ketaatan dan pertanggungjawaban, ketika semuanya berlaku sama, pertarungan kebenaran sebatas kekerdilan jiwa. Tergantung pendengaran suluk dari guha purba kesendirian, apakah gema holistik mesti didengarkan? Dalam kesendirian; 

Benarkah, awal kebebasan karena kebebasan tidak melacurkan segala arti, senada-seangkuh kelas uber alles berpenghuni, seindah-separas alter ego konspirator kuasai diri, bagai bening mata safir tertetes madat syurga bumi, karat analisa mesin generalisasi wira-wiri? wahai insan kamil di balairung, dimana sesungguhnya sutera halus kejemawaan menara babel dan kerendahan hati?    
  
Haruskah tertutup rapat jendela tanya batin, kebenaran yang diberikan tubuh rudin mereka yang lain, stigma nilai abstrak sederajat iman berkasta, takut terkubur citra maha label 'manusia adalah manusia', tak jua lari di hadapan muka-muka hina, cibiran jua terucap manis seketika, hakimi para najis bodoh pasrah berdoa? mekanisme pertahanan diri tidak menggali makam sendiri?    

Kepada siapa lagi ditanya alasan empiris sahih tak terbantah, gugus nada dan kata di atas sabda-sabda, tiada bintang bercahaya, ekspresi seluas angkasa di bawah baton oratorio, tiada surga dan neraka, bebas terpasung seutas tali baja mitos-mitos menakutkan rasa, sesaat tiada lagi perdamaian dari mulut dan hati selain kehendak tersampir dusta? 

Layakkah bagi Khalikul Alam, tatkala taat serta sujud pasrah, tiada suasana syukur menemani daya prima luhurkan jiwa, ketika kekuatan pengorbanan perlu ditanya lagi, mengapa.

--------------
"Hem, aman. Status.. dikunci dulu hanya untuk masukan si..."
Deasy tiba-tiba menyapa di facebook, "Bang, catatanmu menakutkan aku. Kejam. Kelam. Hem, ini citra yah bang. Impersonal kan?"
"Deassy, benar, bukan masalah siapanya. Hanya menyorot habituasi mesin. Berarti, apapun wajah langit, sama toh maksud dan tujuan kita. Tos. Masukan ditunggu di kopdar ya!" Dalam hati, "Hiks, kejam? pernah gitu ke kamu? mengertilah Deassy, mengertilah. Menghayati tidak selalu sama dengan menginterpretasi. Tak dicubit habis pipimu nanti ya. Siap-siap saja."

"Bang, besok aku ada acara dengan teman-teman, gicu. Janji ketemu ditunda dulu yah, di-sorry." "Ups, bisa membaca hati rupanya dia", hatinya menebak.
"Benar-benar beruntung kamu, di oke. Dysentery juga okelah."

Catatan: Seri Baton Konduktor (Draft I).
Musik inspirasi dari youtube Bach : Erbame dich, mein Gott



Persembahan Anyelir dan Lili Putih

Seakan-akan déjà vecu peri kosmos irama menitah
memori, memetik bintang, percaya bercahaya
langit bisa runtuh, kering pun samudera 
lantai podium jua monumen purba 
Penjaga setia sabdasabda
tak surga juga neraka
papa dan tiada
manusia?
kita

Hai kita
jargon pelengah
matahari harga tahta 
koloseum bersimaharajalela
kerandalah milik pemberi hadiah
Pangkuan mayapada, roti, darah, nama
merona dan senyumlah laksana bayi, tahtah 
di pangkuan firdausi, membasuh kaki jiwa bersahaja
jadikan iman perisai berpegang teguh, genderang lengang telinga

Seandainya dulu kita bersuah

Kondrad kecil akan getarkan pita suara. Ibarat gema senar baja terlapis tembaga:

Selamat malam saudara terkasih. Sungguh, dari dulu akulah si gilamu. Inilah hamparan taman sari mimpi indah di belakang singgasana matahari, hari ini. Mereka meninabobokan dengan senandung Dreamland. Entahlah di mana negeri itu berada, selalu diam membisu. Ternyata terdengar sama, sahih, dan tersibaklah tabir megahukum kekekalannya.

Seandaikan kau ikut ke dunia kecilku, engkaulah the girl itu. Kemana saja, kita terbang bagai sepasang malaikat kecil. Menjelajahi tanpa terhalang serambi waktu. Ke perpustakaanmu,  melayang ke pustaka maya. Mau mendengar dan mengerti latar kisah-kisah lara para sahabat. Di bawah langit kita tetap sama. Lumpuh igal dan sayap 'tuk mengerti waktu.

Ayah dan ibu kan berdendang merdu. Membelai rambut di setiap tidurmu beranjak. Berbisiklah mereka perlahan:

Saat kami telah memetik satu bintang kesayangan, saling percaya selamanya menjadi cahaya. Terbanglah!

Kala bimbang inginkan tangan kecil tergenggam, ingin memetik bunga pink anyelir dan lili putih,  bersama semangkok bakso* untukmu, ucaplah hanya dari nada-nada di denyut nadi, arti yang pernah ia ketahui dari apa yang pernah terucapkan:

Di balik keras karang dusta di atas kata-kata damai, kita akan merendai jubah kasih ketika "waktu" versus "seandainya" adalah kejujuran suara hati. Dan sepenggal waktu kan lebih merajut rasa, betapa sorganya "memberi" tanpa menoleh lagi ke neraca harga diri dan toleransi. 

Seraya heningku berpangku di pangkuan jiwamu, lihatlah satu nyala api lilin laraskan doamu-doaku. Cahaya mereka menyatu, artikan persembahan peneguhan.


Catatan : *)Kalau print mesti diedit nih. Sumber Youtube (referensi musik inspirasi) : http://www.youtube.com/watch?v=UZKunB6g1e4
Sumber lirik : http://www.lyricstime.com/art-garfunkel-dreamland-lyrics.html


Dreamland Lyrics - Art Garfunkel 
(Mary Chapin Carpenter)

The sun goes down and says goodnight
Pull your covers up real tight
By your bed we'll leave a light
To guide you off to dreamland

Your pillow's soft, your bed is warm
Your eyes are tired when day is done
One more kiss and you'll be gone
On your way to dreamland

Every sleepy boy and girl
In every bed around the world
Can hear the stars up in the sky
Whispering a lullaby

Who knows where you'll fly away
Winging past the light of day
The Man-in-the-Moon and the
Milky Way
Welcome you to dreamland

Every sleepy boy and girl
In every bed around the world
Can hear the stars up in the sky
Whispering a lullaby

Who knows where you'll fly away
Winging past the light of day
The Man-in-the-Moon and the
Milky Way
Welcome you to dreamland





Kepasrahan dalam Doa

Dessy Pujiastuti anak seorang ustad di Kijang. Ibunya kelahiran Singapore. Ia cum laude dengan IPK 3, 90. Kuliah di Jakarta sembari kerja paruh waktu menjadi petugas perpustakaan kampus. Dessy terbiasa dengan hilangnya keceriaan masa remaja sejak SMA. Tiap mahasiswa yang berani mendekati dirinya mental. Kecurigaan menjadi benteng pertahanan diri. Tinggi hati dan brilian. Tetapi mengapa tidak berlaku hal yang sama terhadap Kondrad? Kondrad sanggup mencuri perhatiannya sejak acara dialog lintas agama dua tahun lalu. Satu buku akhirnya kelar gara-gara keisengannya

"Sudah ribuan tahun, ketimbang masuk ke lubang tak berujung, eh, ternyata penuh berkubang fitnah karena takut dan iri, bahkan tamak dan dengki*, mendingan seperti yang dilakukan Maria Audrey Lukito. Bukan figurnya yah. Bukankah aku seseorangmu? Hi-hi. Menulislah tentang kitabmu atau dengan referensinya menurut pengalaman dan pikiranmu sendiri! Kontemplasi juga toh. Nggak usah menjadi 'orang suci' karena menukik batas kiri-kanan kalau efeknya dosa-dosa berantai. Lebih baik menjadi pengemis makna karena kita akan menemukan ujung untaian mutiara kata, Tuhan menjadi milik siapa saja," demikian konklusi Dessy setelah debat sengit. 

Bantahan Kondrad, "Hayo, kamu dulu buktikan. IP-nya kan hampir sama dengan kamu?"  

Dessy hanya tersenyum sambil berdecak heran. Dongkol benar rasanya. Hem, sementara ini kelihatannya ia angkuh. Begana-begini dan berubah-ubah. Dasar mahasiswa abadi. Nggak malu gitu dengan prestasi wanita? Jangan-jangan batu dan paku isi logos tengkoraknya. Ha-ha. Maklum, perdebatan apa saja selalu larinya ke harga diri daripada inti.

Ia pun tidak sabar ingin segera menunjukkan seluruh draf kompilasi karyanya. Biar baron di kastil hatiku luluh lantak dan hancur lebur hatinya, terkelepek dan tidak keras kepala lagi karena bukti, bukti, bukti. Dessy tahu Kondrad memang pendukung setia esai-esai Dessey tentang keimanan. 


Kondrad anak mantan kapten kapal tanker. Alkisah nasip memang tak berdaya di bawah ketiak waktu. Ayahnya dijeblos ke bui. Ia korban permainan mafia pasar gelap permata internasional. Ia tidak tahu sama sekali isi titipan kotak kado dari sahabat karibnya ketika kembali ke Jakarta. Nyatalah sudah, teman terdekat sekalipun memanfaat jabatannya dan mengkhianati kejujuran dalam  ikatan persahabatan demi income seindah mimpi tanpa etika lagi

Selama di penjara, kekayaan habis terkuras. Perhiasan sampai cincin nikah juga habis tergadai. Hasilnya tersebar di seantero tangan-tangan tertadah tanpa belas kasihan lagi. Dari sipir, supir jaksa, sampai ke mafia peradilan lainnya bagai singa kelaparan. Tersenyum dan tertawa, bebas menikmati penderitaan orang lain. Meskipun dengan sumpah terucap di bawah buku aturan pengabdian negara, di bawah kitab suci masing-masing, nurani begitu rapuh dikangkangi segepuk uang. 

Bantuan ataupun pinjaman sanak saudara hanya menjadi beban ketidakpastian hari esok. Ayah akhirnya mengalami kesedihan luar biasa. Ia sering melamun dan tak mampu memejamkan mata hingga dini hari. Hari berlalu senantiasa berlaku sama. Kehormatan seorang laki-laki telah sia-sia, tanpa daya mempersembahkan cucuran keringat tangan dan kaki demi kebahagiaan keluarga.

Semestinya tidaklah terpasung dalam lamunan di bilik dingin berjeruji besi. Apa yang terjadi dengan nasib istri dan anaknya? Andaikan, andaikan, andaikan, waktu membalikkan keadaan kembali seperti dulu, cobaan kejujuran yang mahal ini tidaklah menyita semua kekuatannya sebagai seorang laki-laki, sebagai kepala keluarga. Tubuh kurus itu akhirnya roboh karena terserang pneumonia. Ia telah berubah menjadi perokok berat. Penderitaan bertubi-tubi yang kembali menjadi sahabat, bukan tawakal* dalam doa. 

Semua itu hendak menuding tanpa terbantahkan lagi. Engkau sekarang adalah pengemis bagi anak dan istrimu, bagi sahabat dan kerabat. Kepada siapa lagi sanjungan atas kesombongan menjadi sorotan mata, dengan gagah berkacak pinggang, bangga tak terlepas dari tangan kekar kebesaranmu? Oh, dunia. 




Catatan: Terinspirasi dari lirik lagu Nasihat Pengemis Untuk Istri, Ebiet G. Ade. Bersambung. Teman musik dalam prosa ini, Youtube : http://youtu.be/LYL7YFuBfg4





Catatan tentang Puisi

Puisi layaknya seperti lirik lagu. Ia punya muatan multi-interpretasi. Satu kata saja mampu melahirkan inspirasi baru. Dan kata itu bukanlah milik eksklusif seorang penyair. Padanan atau rangkaian kata-kata mampu membangun, mencipta pendengaran dan visual berimajiner. Di sini wahana penyair menunjukkan kemampuan seninya untuk melukis satu atau lebih dimensi ilustrasi di atas kanvas puisi dengan kuas ungkapan bermajas* yang terbentuk utuh atau masih setengah matang, ide-ide yang terdiksi dari alam pikirannya. Setengah matang dalam seni mengartikan masih meredupkan majas, masih berbentuk puisi transparan, alias ungkapan apa adanya (prosais).

Dalam pengandaian, hamparan langit malam adalah luasnya sumber inspirasi puisi itu terbentang. Penyair memetik bintang-bintang dan menata gugusan baru cipta makna dan rasa, nosi dan emosi**, menjadi mahakarya miliknya. Cahaya bintang menandakan kata-kata puitis itu hidup dan berlari riang di benak pembaca. Tidak jarang ia tidak mengetuk pintu ketika memasuki alam bawah sadar, menghadiahkan pengendapan kata, dan pergumulan maknanya seperti mimpi-mimpi penikmat puisi. Tidak jarang ketika pena atau tuts keyboard seorang penyair lain merangkai kata-kata, endapan tersebut menjejakkan kembali inspirasi yang telah merunut. Inspirasi telah menggugus rangkaian jiwa imajinasi untuk hidup dan semakin berkembang. 

Optimalnya sensivitas penerimaan pembaca akan mengacu pada dua hal. Pertama, pesan penyair memang mengena dan menginspirasi. Atau pada tingkat tertentu memberikan pemahaman absolut dengan ketinggian rasa (estetika). Kedamaian yang menyejukkan, atau kebencian, dendam membara, rindu menggunung, di langit aksara yang merinaikan mantra memesona. Kedua, pesan memang tidak tepat mengena karena interpretasi yang salah. Efek sebaliknya tidak dipungkiri akan terjadi. Seperti dialog neutron (sel otak) satu dengan miliaran yang lainnya saat membantu asumsi terkondisi deterministik setelah menerima arus informasi dari sang indera. Maka akurat atau tidak, akan memengaruhi perubahan interpretasi dan paradigma setakat dengan pemaknaan dan pengalaman batiniah yang melatari.  

Puisi yang baik, melegenda, dengan kasatmata terukur dari jumlah pembaca di luar komunitas penyair. Tentu di dalam hal yang teknis demi pencapaiannya, misalnya dibukukan, banyak hal yang dapat mendukung akselerator angka-angka. Tetapi kasatmata itu ternyata masih mengandung relativitas ukuran kualitas. Antara kelayakan sebuah inspirasi, manfaat dan harga, Pasir Dan Buih dari sebuah buku maha karya Kahlil Gibran, terkait sekalipun dengan perbandingan karena inflasi, tahun 90-an hanya dihargai tiga ribu rupiah. Demikian pula dari ukuran waktu, puisi itu tidak mudah hilang atau mengalami situasi volatile (mudah menguap). Secara kualitas namun sulit tertakar, puisi memasifkan daya kelanggengan yang menyertakan penghayatan serta membawa angin perubahan, dengan atau tanpa keselarasan bilamana penyair atau penyajak memiliki target tertentu.  

Tidak ada yang salah puisi selalu berbicara tentang diri sendiri. Di muka penataan buku-buku terlaris, sebuah toko memamerkan jenis sublim (indah, agung), kritik sosial, bahkan picisan. Terkait dengan hal ini tanpa bermaksud melecut kebangkitan dengan kata "QUO VADIS" arah puisi di kanal fiksi kompasiana, penulis dengan pemahaman awam teringat kembali pesan GLMax. Terima kasih. Namun di sini hanyalah ingin menukilkan saja tanpa bahasan karena kendala yang lain dari penulis sendiri.  Bukan pula dengan maksud menandaskan percaya diri akan meningkat beriringan hanya berdasarkan angka-angka laris semata-mata. Bahwasanya, kunci sukses sebuah puisi berkualitas telah menjadi sebuah keutamaan bilamana ukuran itu berjalan sepadan dengan seberapa besar perubahan yang nyata terjadi atau seberapa besar manfaat yang dapat di ambil oleh pembaca sendiri. Dari kutipan hal. 2, buku saku Skill With People, penulis Les Giblin seakan hendak memberikan jawaban sederhana :

Orang terutama tertarik pada diri mereka sendiri, bukan pada anda! Dengan kata lain -- orang lain itu sepuluh ribu kali lebih tertarik pada dirinya sendiri daripada tertarik pada anda. Dan sebaliknya! Anda lebih tertarik pada diri anda sendiri daripada anda tertarik pada orang lain mana pun di dunia ini. 

Tentang waktu penghayatan dan sensivitas penerimaan, penulis ingin mengibaratkan sebagaimana kata penutup di bawah catatan iseng-iseng ini. Berharap, penulis fiksi atau yang mendalami psikologi dapat menjelaskan tentang peran puisi. Semoga. 

Semakin bergegas penalaran saat memintasi bentangan waktu 
semakin aporia sel-sel literal menemukan kodrat manusia
karna sang waktu berdalil, aku hanyalah topeng khayali di selaput bening matamu
Semakin tinggi pembatiniah saat menarik bentangan waktu 
semakin likuid embun pagi mengisi relung-relung jiwa
karna wang Waktu berbisik, aku adalah rahim imajinasi di mega-inspirasimu
Engkau dan waktu, satu ibu seribu kartika

Catatan :
*) Kiasan dengan penegasan, pertentangan, perulangan, pertautan, perbandingan, dll. Biasanya disertakan menjadi bagian bahasan gaya bahasa di dalam buku-buku pedoman EYD.
**) Konsep mendasar yang sering ditemukan dalam pendidikan bahasa. Penulis angkat istilah ini dari buku Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi, karya A.G. Hadzarmawit Netti.

Sekali-kali mengisi catatan di kanal lifestyle kompasiana. Kepada pecinta fiksi, Anda telah memberikan inspirasi menjadi pembelajaran luar biasa. Memberi tanpa mengharapkan pengakuan dan harga. Tetapi segeralah dibukukan. Sayang kan? Salam.

Sembari dengar Youtube : http://youtu.be/PFx3a7KfN0c



Puisi Paranoia Pecinta Maya

Manjakan analisa, tajam di ujung pedang
peduli apa kabut malam, terang meredup asa pun mengerang
Hanyut dalam benak absolut, hem, insinuasi pun sesaat dipajang
purna sudah kebencian, hem, lukisan bunga karang

Kecuali hanya satu atas nama kasih dan cinta,
muakku lama jelmakan duri perdu bermahkota
Kecuali hanya satu cahaya damai di mata,
cintaku lama membuta karena jiwa paranoia

Paruh elang angkasa aksara, memagut helai sutera penghalang
merobek, mengoyak, menyingkap,... sungguh, engkau senang
Debu dari ukuran status, “alat bukti” berganti pasir tak bertuan
kering-kerontang nalar dahan-dahan, rinai hujan jua sonar penantian

Kecuali satu, kamu begitu, aku begitu, lugu kita bertala-tala
aku tebar dusta di depan majelis setan maya
Kecuali dendam, matilah kamu,.. aku bekukan darahmu selama-lamanya
di atas sadarku laksana maha daya seribu roman terindah

Sedari dulu katup waktu tak jemu mengerangkeng bimbang, hilang
Sedari dulu aku tidak bisa lebih elegan, tidaklah bantah, menantang
Bungkus saja sisa-sisa delusi, sedimen stigma mengawang-awang
tak mengemis, tak ragu, tak lari,.. ngung-ngung, sapi saja yang terbang

Di Bawah Duli Sang Bunga Karang*, sedari dulu engkau bebas muntahkan tudingan
Merindingkah aku hanya karena kaliber hippo algojo kera judes edan?
Ludahi saja ini wajah sepuasmu,.. itu sudah lama terbayangkan
Hai, sumpah mati kalau bersuah,... gantian,
kugigit ujung jarimu yang menohok benci-bencian

Salam muahahaha dari tukang ojek*



Catatan khusus : *)Tidak ada yang istimewa. Hanya, suer, hanya rasa "sesaat" bercanda. Namanya juga dunia maya. Kalau buruk, jangan terpuruk. Vote sendiri dulu, aktual. Ah, kita di dunia maya terkadang seperti klip funny babies chatting di youtube ini. Artikan sebagai maafku. Diterima atau tidak,... muahahaha. 





Ketika Roh Meraga Kembali

Di garis ambang batas dimensi dua alam, alunan puja mengiringi perjalanan misteri waktu, saat sosok-sosok jiwa berangkat bersama bayang-bayang yang terikat tali darah kekuatan jalinan cinta.  
++
PadaNya memohon, barisan nada-nada mars itu mengisi kedalaman makna kepasrahan jar jiwa. PadaNya menadah tangan, kodrat waktu dan kasih yang membawa cawan matahari dengan jutaan tahun membumi, siluet takdir memerih segera berlalu menjauhi tiang-tiang nisan baru. Cukuplah cahaya lilin kesetiaan yang tetap samar menyala tegar. 
++
Kekuatan bara cinta anak manusia itu tiada lagi terperi, degub jantung menepis kenisbian kegelapan, sebelum Sinar Suci membebaskan jubah sakral ikrar sejiwa mereka, sebelum kian luntur kekakuan tambatan darah di nadi kedua tangan mereka saling terpaut utuh. 
++
Setelah terbakar kesaksian tilas alam semesta
dan pujian para malaikat membuktikan kisah kerendahan hati,
dan takjub akan kasih untuk memiliki,
bulir sukma layu itu merukuk di hadapan bentangan Tangan Pencipta
tanpa derai air mata darah lagi,
panjatkan sisa asa sehalus butir-butir pasir waktu,
segala mohon akhir aksara-aksara lembaran malam,
memugar kelam menjadi sehelai preambul baru,
buku memori perjalanan panjang balada indah kesetiaan wanita bersahaja,
niscaya kehampaanlah sepanjang kedua mata memisah tajam syukur dari pinta diri.
++
Sesaat itu satu kilauan pancaran Khalik perlahan memisah dekapan roh untuk purna menyatu, seraya luluhkan penantian terucap dari bibir seorang wanita yang telah lama terjaga, hikmat berdiri bersama kekasihnya untuk yang terakhir kali, di atas balkon teater peradaban hamba-hambaNya, riwayat bermonumen menundukan hati surgawi kan membuka pintu.
++
Kesetiaan itu tidak memilih kemegahan saka-saka kasih melebihi piramida dengan citra tubuh Orion. Ia tidak memilih kerikil kecil tertabur di jalan setapak melebihi topaz Taj Mahal. Ia tidak memilih hiasan jubah putih melebihi permata Potala. Inikah tentang kecermelangan ramalan para nabi? Inikah tentang akhir riwayat penderitaan Abraham atau Ayub? Inikah tentang misteri kekeramatan humaniora yang diornamenkan? Ketika roh meraga kembali, ketika jubah putih berganti mantol hitam pertobatan, hanya satu tanya yang akan ditinggalkan. Yang Agung, bicaralah dalam penjelajahan batin dengan segenap sujud kami. Seluas tubuh angkasa astral, seindah pendaran taburan kristal lautan maknawi, sebening mata air yang menghiasi piranti nalar, tanpa kata-kata. Salahkah nyala lilin itu karena waktuMu?
++

--Renungan Kondrad yang kagum akan kesetiaan mereka--

Catatan: Bersambung. Seri sebelumnya : http://fiksirekon.blogspot.com/2011/08/ambillah-ya-tuhan-semua-milikku.html
Sumber lirik : http://www.diglyrics.com/en/lyrics/Vangelis/-/Conquest+of+paradise.html
Sumber youtube : http://youtu.be/5zbQnKvwaBg
======================================

Vangelis
Conquest of paradise

Mm mm mm, mm mm mm mm mm,
mm mm mm, mm mm mm,
mm mm mm mm, mm mm mm mm mm,
mm mm mm, mm mm mm mm
In noreni per ipe,
in noreni cora;
tira mine per ito,
ne domina.
In noreni per ipe,
in noreni cora;
tira mine per ito,
ne domina.
In noreni per ipe,
in noreni cora;
tira mine per ito,
ne domina.
In romine tirmeno,
ne romine to fa,
imaginas per meno per imentira
mm mm mm, mm mm mm mm mm
mm mm mm, mm mm mmmmm
mm mm mm mm, mm mm mm mm mm
mm mm mm, mm mm mmmmm
mm mm mm, mm mm mmmmm
===========
In noreni per ipe - in the night afoot
In noreni cora - in the night found 
Tira mine per ito-many mines thereabouts.
Ne nomina - for them they dominated
-------------------


Ambillah Ya Tuhan Semua Milikku

Seminggu telah berlalu. Tiba-tiba saja aku dipanggil rekan-rekan kantor, "Kondrad, cepat, dipanggil bos." "Ada masalah apa?" "Abang saja yang dengar langsung berita duka." "Loh, siapa?"

Sahabat-sahabatku berlalu dengan kepala tertunduk. Aku segera masuk ke ruang pimpinan, "Sore, Pak. Saya dipanggil?" "Kondrad, aku minta maaf. Tinggalkan kerjaanmu segera. Kita berangkat ke rumah sakit. Darton kecelakaan tadi di luar. Pendarahan di hati karena tabrakan dengan angkutan kota yang berhenti mendadak." "Kok bisa? keadaannya sekarang, Pak?" "Udah, ikut saja! sebagian karyawan sudah diijinkan ke sana."
--
Kami melangkah masuk ke ruang darurat. Tampak suasana kerumunan lengang dan sepi. Sekali-kali terdengar isak tangis. Hatiku kalut terbawa kegundahan dan sigap memandang dengan seksama. Suasana   hening jeritkan kelam dalam kebisuan.
--
Seorang wanita berambut panjang di sudut kanan ruangan menarik perhatian. Sorot matanya menatap tajam kedua mataku. "Ada apa ini? Mungkinkah?.. Ah, tidak. Tidak mungkin ini terjadi," pikiranku mereka pesan bisu. Aku berusaha membaca guratan apa yang kini ia alami. Mata yang berkaca-kaca itu bercerita tentang kehampaan. Tentang lepasnya sebagian jiwa. Harapan yang telah lama bersemayam dan tertahta lubuk hati, tidak mungkin berubah semudah keinginan raga. Mata sayu itu menyerahkan kesuraman sunyi. Barisan aksara tidak dapat lagi mewakili alam nalarnya. Sebuah kehancuran tanpa batas rasa.  Hampa cahaya gelap pekat, saat-saat terbayangkan kepedihan menerima sebuah hakekat di balik kesempurnaan manusia. Debu kembali menjadi debu. Sirnalah semua kebahagiaan yang terjalin selama ini, dari tali kasih yang terikat erat pada janji-janji.
--
Ia menghamburkan badannya, menahan semua beban berat batin, dengan kedua tangan terkepal keras, dan tertahan di satu pundakku. Tangisan histeris seketika memecah tembok keheningan. Gema-gema suara seakan menyatakan suatu akan terlepas bebas. "Cukup, pergilah, aku telah lumpuh untuk bisa menahan semua beban batin." Sejenak ia terdiam, ... merebahkan kepala tanpa sadarkan diri. Ya, tubuh itu jatuh perlahan, sebelum lirihkan satu demi satu kata-kata penyerahan ;


Aku melihat kekasihku
Tuhan, dialah yang ada dalam setiap tetes air mataku
yang mengalir bersama doa-doa, selama ini
Sekarang......, aku harus menerima jiwanya 
menjadi butiran-butiran, untuk selama-lamanya
dalam kesia-siaan


Aku telah melihat kebesaranMu, 
dialah satu-satunya hadiah, yang telah Engkau berikan
dialah yang telah berjanji, akan mendampingi hidupku
dialah..., kepadanya aku serahkan janji kesetiaanku
hanya kematian, yang memisahkan kami


Tetapi...
mengapa harus sekarang terjadi perpisahan ini?
mengapa aku harus menerima cara perpisahan ini
Mengapa....
ijinkanlah semua deraMu ini berlalu


Mengapa Engkau mengambil satu-satunya 
harapan yang telah aku miliki 
inikah artinya cinta sejati itu
Mengapa aku tidak Engkau sisakan sedikitpun waktu
dia mengucapkan satu saja kata akhir perpisahan, di pangkuanku
Mengapa........., tidak ada jawabanMu


Tuhan..., belumlah saatnya.. belumlah ini saatnya
tetapi jila Engkau memaksakan kehendakMu
semua tiada berarti lagi, ijinkan aku pergi bersamanya
Sekarang juga Tuhan,... padaMu kuserahkan seluruh jiwa ragaku
Ambilah semua milik hidupku
sekarang juga............................................................................................
--
Jelas ia tidak bisa menerima dan mengerti cara Tuhan mengambil kebahagiaannya. Arinah hanya bisa menemukan tubuh terkapar kaku di tempat pembaringan itu. Ia sahabatku, Darton. Ia diam untuk selama-lamanya.

Catatan : Bersambung. Seri sebelumnya : http://fiksirekon.blogspot.com/2011/08/kau-sahabatku-tinggalkan-ragu.html
Sumber lirik : http://www.sing365.com/music/lyric.nsf/Penelope's-Song-lyrics-Loreena-McKennitt/16F05E2D3422D2A04825721F00116EF6
Referensi Youtube : http://youtu.be/Q2uz08QQtQc
==============================

Penelope's Song Lyrics
Artist(Band): Loreena McKennitt

Now that the time has come
Soon gone is the day
There upon some distant shore
You'll hear me say


Long as the day in the summer time
Deep as the wine dark sea
I'll keep your heart with mine.
Till you come to me.


There like a bird I'd fly
High through the air
Reaching for the sun's full rays
Only to find you there


And in the night when our dreams are still
Or when the wind calls free
I'll keep your heart with mine
Till you come to me


Now that the time has come
Soon gone is the day
There upon some distant shore
You'll hear me say


Long as the day in the summer time
Deep as the wine dark sea
I'll keep your heart with mine.
Till you come to me

Kau Sahabatku, Tinggalkan Ragu

"Bang!"
"Yup, gerangan apa nih?"
"Aku mau cerita. Tapi rahasia. Jangan di sini, Bang!"

Pembicaraan berajak dari kursi lain di kantin perusahaan.

"Bang, aku kemarin ke Puncak. Dengan dia, Arinah yang kutaksir dulu."
"Haaaah??? Gila."
"Ternyata Bang, dia masih... Benar, Bang." Aku goyang-goyang kepala. Kiri kanan, kanan kiri.

"Darton, aku pernah pacaran. Lama, Dar. Lebih dari lima tahun. Sekarang putus. Janjiku dari awal terbukti. Pacarku itu masih, ya, selama di tanganku, tetap, masih. Kamu? masih-masih? masih apa kalau sudah terjadi? Okelah. Teruskan perjuanganmu. Rencana kalian?"

"Iya Bang. Aku mau tanggung jawab kok. Bulan depan aku janji lamar dia. Uang pernikahan sudah aku siapkan. Lumayanlah tabunganku selama kerja di sini. Sisanya sudah kurencanakan untuk kredit rumah baru. Orang tuaku sudah kenal dia. Mereka setuju, Bang. Siap melamar."

Pikiran Kondrad mengawang.

"Membayangkan saja, perasaan iba terseret-seret kesal. Ampun-ampun. Bukankah kekasihnya wanita bersahaja, penuh pengertian? Begitu juga dengan kamu. Tidak pantas rasanya.  Ah, apa jadinya kalau nanti terjadi sesuatu. Lamanya hidup, bukan kita yang tentukan. Aku mulai was-was."

"Darton memang sahabat terdekatku. Berwatak berani menghadapi setiap permasalahan. Satu dari dua kolega tempat kerja lama yang aku rekrut karena permintaan khusus dari Kadept. Mereka cepat menyesuaikan diri. Self improvement dan membanggakan. Sentuhan achievement tinggi. Awal menjatuhkan pilihan karena dia jujur dan tidak mudah mengeluh. Sisi lain yang aku suka, ia pun taat beribadah. Namun dengan kebanggaan atas cerita barusan, aku hanya bisa mengelus dada."

"Dar,  kamu harus meyakinkan dia. Pegang benar-benar janjimu. Jangan bikin malu. Harga dirinya ada di tanganmu sekarang".

"Pastilah Bang. Tapi tahu enggak Bang, apa yang terjadi di Puncak itu? Dia menangis lama sekali waktu aku tembak dengan serius-seriusnya. Dor, dor, dor. Aku bingung, bang. Aku yang uring-uringan ketakutan. Tidak ada jawaban. Pas mau pulang, tahu gak dia bilang apa?  'Aku menangis karena satu sebab. Apakah aku wanita yang bisa membuatmu bahagia? Bukan hanya untuk hari ini. Tapi untuk selama-lamanya.' Waduh Bang. Aku gak bisa omong lagi. Dia memegang kuat-kuat tanganku."

"Tuh kan, dia itu sebenarnya baik, Dar. Kamu itu luar biasa di matanya."

"Tapi, Bang, 'masih-masih' itu maksudnya, dia masih mencintai aku. Bukan ... "

"Ups."
--

Bermandikan Cahaya Firdausi

Bertanya dalil pun asmarandana berlabuh di dermaga biru
berdialog bijak pun spiritual menjura di kaki kidung haru,
ketika rintik hujan penawar dahaga rindu taman tandus segala berlalu
ketika sangkala pagi menanti lama silir angin jentikkan ranting-ranting...
rimakan syair syahdu


Apalagi yang mengganti garis meridian peraduan dua mimpi
apalagi yang sanggup deraskan langkah-langkah sepi memapah hari,
ketika getaran pertama rasa mencintai terbetik dengan segenap hati
ketika sayap-sayap janji membawa rahasia dari balik sangkar... 
nuranimu 'kan bersilih


Bunga-bunga di tepian oase kasih sayang itu indah, Sahabat
kala siang menghirup kehangatan paras anggun sang surya di khatulistiwa
malam sudi persembahkan rekahan sajak kesetiaan di altar bulan sabit penuh khidmat
sejarahkan karunia cahaya firdausi, bermandikan makna dari rahim larik-larik...
runduk mazmur kartika sejiwa


Hilangkan debu-debu ragu di atas cermin keberanian!
Terbanglah bersama di peta kemenangan!
Busungkan dadamu!
Engkau Sahabatku

Terimalah kado puisi ini untuk kalian berdua
Kondrad
--
Catatan: Bersambung. Seri sebelumnya : http://fiksirekon.blogspot.com/2011/07/renungan-kepekaan-hati.html
Lirik : http://www.lyrics007.com/Bryan%20Adams%20Lyrics/When%20You%20Love%20Someone%20Lyrics.html
================

Bryan Adams - When You Love Someone lyrics
Songwriters: ADAMS, BRYAN / KAMEN, MICHAEL / PETERS, GRETCHEN

When you love someone you'll do anything 
You'll do all the crazy things that you can't explain 
You'll shoot the moon put out the sun 
When you love someone 
You'll deny the truth believe a lie 
There'll be times that you'll believe 
you can really fly 
But your lonely nights have just begun 
When you love someone 
When you love someone you'll feel it deep inside 
And nothin' else can ever change your mind 
When you want someone - when you need someone 
When you love someone 
When you love someone - you'll sacrifice 
You'd give it everything you got and 
you won't think twice 
You'd risk it all - no matter what may come 
When you love someone 
You'll shoot the moon - put out the sun 
When you love someone