“Kabur lagi, kabur lagi. Kapan aku bisa jewer telingamu Dessy Pujiastuti? Hayo mau kemana?” Terdengar suara Kondrad berat menahan beban di hati.
Dessy yang merasa jengah akhir-akhir ini dengan situasi serius yang di reka Kondrad, terdiam. Ia menggeserkan laptop Kondrad tanpa sungkan-sungkan lagi, tepat di depannya. Sementara Kondrad menulusuri suasana di ruang hati Dessy.
"Kebiasaan kalau bertemu, antusiasmu meluap-luap membongkar rahasia di balik tirai-tirai kalimatku. Ah, entahlah. Suka-sukamu saja mengandaikan mereka adalah gambaran sosokku ke alam bawah sadarmu. Yang terbayang di benakku sekarang, sebuah cerita roman lama filsuf dengan psikolog. Karena arogansi intelektual, mereka sulit sekali mencairkan komunikasi yang lama meregang kebekuan. Setiap satu saja ucapan, tak berbeda untuk satu saja perlakuan, lahirlah lembaran panjang naskah kritikan. Naskas lengkap yang tiada lagi tercela di atas celaan, demi citra pengetahuan penulis adalah sempurna. Seolah-olah terbaik sejagad raya, sepanjang sejarah. Diam pun mereka saling membedah karakter masing-masing pasangannya. Yang satu mengusung kekuatan deduksi, menarik semua nilai seperti gaya sentripetal. Tertutup pengecualian, semesta harus masuk dalam cakupan. Yang lain sentrifugal dengan teori-teori kemungkinan. Hanya meriset beberapa kasus, sudah berani mengambil kesimpulan absolut. Tertutup pengecualian, seluruhnya harus kena dengan klaim sama. Egoisme sembunyi di balik sekat-sekat kebenaran. Kebenaran menjadi tangga-tangga berkasta. Saat terjadi titik temu, sesaat itu pula berlalu menjauh. Alam pikiran terbawa arus keras lautan praduga, dan mengalahkan tekanan rindu yang menggunung. Setelah bertahun-tahun setia bertahan, akhirnya terungkap latar belakang mereka. Tidak ada satupun yang mendukung kualifikasi akademik. Titik temu keterbukaan membuka kunci akhir epolog dengan manis.”
“Nah ini dia. Terbukti. Cubit saja yang ada di desktop ini.” Dessy kaget menemukan wajahnya sendiri.
“Lho, karya tulis itu bisa ditepis cukup dengan satu sentuhan jari. Tapi yang ini? no way. Laptopku ambek-ambekan kalau ada yang kotak katik. Dia memang benda mati yang sudah diprogram. Jika diklik A, hasilnya tetap A. B, ya tetap B. Konsisten dan setia habis-habisan. Harga mati sebelum dirinya tergantikan. Tidak ada celah kesempatan bagi kritikan atau keraguan. Karena kemampuan terapannya sangat tinggi. Hem, berbanding terbalik dengan yang sering hang alias plin-plan. Tugas mulia memberi sinyal, senyummu tidak akan tertandingi. Walaupun dengan wallpaper seni karya kontemporer.” Intonasi Kondrad meninggi dengan kiasan memaksa.
Diam-diam Kondrad merasa bersalah. Hampir semua foto facebook Dessy, termasuk sahabat dan keluarganya di-download. Jangan-jangan kagum akut tetapi malu-malu mengakui. Campur aduk dengan sedikit perasaan sesal.
“Hanya? hanya demi itu?” Dessy menyidik maksud tersirat.
“Tentunya tidak sayangku. Ini sekedar konfirmasi dasar. Semua penilaian tidak perlu aku bantah. Setidaknya setelah sejenak kurenungkan alasan keseluruhan. Tidak ada pengaruh karena satu kata, setia. Gitu Dessyyy. Bukankah semua ini berawal dari ucapanmu? Dirimu tidak perlu dipahami. Nah, demikianlah sebaliknya diriku kepada dirimu. Hayo, apa lagi.”
"Oh gitu? Oke abangku. Dua kali aku sudah menegaskan ini ya. Ambillah semuanya. Kalau harus seolah-olah itu sungguhan demi harta inspirasimu, besok kububuh terasi berbuih-buih di permukaan air kopi. Maksudku ada satu pemintaan bersyarat. Percaya diri dan jujur modal dasar brand activation abang.” Dessy tanpa sadar terbawa gaya bicara Kondrad. Mengambang dan mengena. Serius sekaligus ingin melucu. Akhirnya terasa hambar karena bukanlah watak dirinya.
"Duh, mengapa mesti takut? itu juga masih berbentuk delusi. Mari pertama kita bertanya. Memangnya kita ini siapa? Diriku juga sama. Sesuatu yang belum terjadi, meskipun bunga di hati terbang ke teras surga. Itu artinya sayap-sayap kecil sekeras baja, tidak mungkin patah menuju……?”
“Eit, eit, hati-hati berbicara hati ya!” Dessy protes keras.
Begitu banyak hal yang menegangkan, mengganjal pembicaraan. Sesungguhnya tidaklah meniadakan cermin yang membayangi kekukuhan di hati mereka. Seakan telah terjalin erat rasa ingin melindungi, meskipun keinginan itu masih terjerat waktu Tidak ada halangan kesediaan di taman kerinduan yang kering dan tandus, menanti sentuhan pertama curahan hujan. Kondrad tiba-tiba terpana dan merekam situasi ini. Serasi dan saling mengagumi. Alam lamunannya terjebak pesona wajah ayu Dessy.
"Sekiranya bias sang surya tebarkan rinduku dari jendela depan rumah kopi ini. Sekiranya menerpa mulus kontraskan riasan warna yang menyekar bagi yang sedia merangkai jejak tilasnya. Biarlah saja pantulan perhiasaan memesona itu terlepas perlahan. Bagai keharuman semerbak dalam relung kebisuan akan menyinari kebahagiaan di roman lembut Dessy. Biarlah saja murka hati setajam penoreh duri-duri di tangkai sekuntum mawar merah. Bagai bongkahan kepedihan akan memadukan kerelaan diamku yang membeku berbenturan keras. Sungguh menakjubkan lukisan cahaya citra senyuman itu."
“Ssst diam, kagak pakai tapi-tapi. Rahasiamu rahasiaku." Dessy buyarkan impian perjalanan wisata Kondrad ke negeri awan.
Ia bergegas terburu-buru dan pergi, setelah jari-jari lantiknya bersamba lincah di atas laptop. Tingkah Kondrad tampak mendadak terguncang-guncang keheranan. Pasrah menyaksikan apa yg terjadi. Mengapa suasana ini kembali terjadi berkali-kali? Dessy belum menganulir sanksi atas perkara desktop backround itu. Namun draf novel saat diklik tertera lanjutan :
Tidak ada yang bisa dipaksakan, bang. Belajarlah percaya dengan suara hati. Bahagia yang akan mampu memendam kesedihan yang tersesak di ruang batinku, tanpa tergesa-gesa akan kembali bersemi di relung hati. Bagiku, ia tidaklah semestinya tercipta karena karya-karya seni. Kerena kekaguman ataupun iba, karena canda menggoda ataupun magnet kata-kata berestetika tinggi. Ttidak akan pernah bisa jika tidak tergali dari hati kecil sendiri. Dan ingat, aku memiliki saudara yang saling mengasihi. Kami tidak akan mungkin menerima, seseorang yang kami cintai mempermainkan nyawanya sendiri. Memoriku tidak meminta kehilangan terjadi. Tidak terkecuali dengan perasaanku ketika membaca puisi refleksi nasionalime itu. Tidak peduli dengan ejekanmu, oh, kamu mungkin takut? Abang semestinya mengerti keutuhan kebahagiaan orang lain yang mencintai abang. Dengan begitu aku sanggup meyakinkan diri, abang tidak mudah mempermainkan kata-kata cinta.
“Duh, bagaimana dengan kejelasan bahasan ini tanpa dibicarakan? Aku meletakkan kedalamanku di sana. Aku juga relakan karyaku pergi mencari arah jalannya sendiri. Lisan yang lebih meyakinkan bagiku. Tetapi mengapa sekali lagi? diamku terpaku setelah menemukan ungkapan beraksara tebal. Detik itu nasip mujurku seolah-olah terhempas dari atap langit. Ahay, baru saja berlalu lenggang-lenggok pinggulmu yang menghanyutkan pesona di mataku, gebrak, seluruh bayangan hasrat hati yang membumbung tinggi, hancur luluh tiada lagi terperi. Di muka gerbang inspirasimu, tidak ada kesempatan sedikit pun, engkau mau mendengarkan dengan rinci satu demi satu, penjelasanku. Sengaja pergi atau sengaja menutup diri? Bukankah aku bahkan selalu menyatakan maafku? Sekalipun untuk sesuatu yang tidak seharusnya, yang berawal dari kenyataan lain yang tidak ada kaitan dengan kenyataan kita.”
“Aku merenungkan tujuan awal saat pertama kali kita berkenalan. Satu dari basis persepsi mematri. Mengapa tidak kita sederhanakan saja semua persoalan dalam keteduhan rahim persahabatan? Aku cemburu dengan keakraban di foto-foto keluargamu. Mereka cermin yang hendak memancarkan makna, bahwa hidup itu indah saat terasa aroma, keinginan merelakan hati bagi yang lain demi kesejatian ikatan persaudaraan. Mengapa hubungan kita yang belum menemukan titik terang menjadi penghalang? Tanpa beban yang berkecamuk dengan semua angan-angan. Kecewa, bahagia, kebencian, dan perhatian. Memanggil abang seperti menyapa saudara tua dalam keluargamu. Memanggil abang seperti sapaan terhadap teman-temanmu. Kita ini berada di garis pertahanan ego yang sama. Kita juga yang tidak mungkin menyangkal suara hati yang sama. Bahwa cinta sejati sesungguhnya tumbuh dari palung hati yang terdalam. Tidak akan pernah bisa dipaksakan dengan cara apapun karena tidak semua bisa disamakan.”
Catatan : Bersambung. Teriring inspirasi dari Youtube : http://youtu.be/O6rbV-YId7Q
Dan lirik : http://www.lyrics007.com/Sarah%20McLachlan%20Lyrics/Forgiveness%20Lyrics.html
Sarah McLachlan - Forgiveness lyrics
Writer: MCLACHLAN, SARAH / MARCHAND, PIERRE
Loving, lying enemy
I have seen your face before
Never thought again I'd see
Didn't want to anymore
I remember your loving eyes
And the moonlit kiss
The evening lullabies I will truly miss
Through the years we had it all
The midnight whispers, the midday calls
This house of cards, it had to fall
And you ask for forgiveness
You're asking too much
I have sheltered my heart in a place you can't touch
I don't believe when you tell me your love is real
'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt to feel
Every time I see you, I can't help but look away
All along I had believed everything you'd say
When I look now I know I've seen your face before
Don't want your deceiving smile, standing at my door
And I don't care what people say
I'm ready now to face this day
'Cause I have lost you along the way
And you ask for forgiveness
You're asking too much
I have sheltered my heart in a place you can't touch
I don't believe when you tell me your love is real
'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt to feel
'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt
To ask for forgiveness
You're asking too much
I have sheltered my heart in a place you can't touch
I don't believe when you tell me your love is real
'Cause you don't know much about heaven, boy
If you have to hurt to feel