Catatan tentang Puisi

Puisi layaknya seperti lirik lagu. Ia punya muatan multi-interpretasi. Satu kata saja mampu melahirkan inspirasi baru. Dan kata itu bukanlah milik eksklusif seorang penyair. Padanan atau rangkaian kata-kata mampu membangun, mencipta pendengaran dan visual berimajiner. Di sini wahana penyair menunjukkan kemampuan seninya untuk melukis satu atau lebih dimensi ilustrasi di atas kanvas puisi dengan kuas ungkapan bermajas* yang terbentuk utuh atau masih setengah matang, ide-ide yang terdiksi dari alam pikirannya. Setengah matang dalam seni mengartikan masih meredupkan majas, masih berbentuk puisi transparan, alias ungkapan apa adanya (prosais).

Dalam pengandaian, hamparan langit malam adalah luasnya sumber inspirasi puisi itu terbentang. Penyair memetik bintang-bintang dan menata gugusan baru cipta makna dan rasa, nosi dan emosi**, menjadi mahakarya miliknya. Cahaya bintang menandakan kata-kata puitis itu hidup dan berlari riang di benak pembaca. Tidak jarang ia tidak mengetuk pintu ketika memasuki alam bawah sadar, menghadiahkan pengendapan kata, dan pergumulan maknanya seperti mimpi-mimpi penikmat puisi. Tidak jarang ketika pena atau tuts keyboard seorang penyair lain merangkai kata-kata, endapan tersebut menjejakkan kembali inspirasi yang telah merunut. Inspirasi telah menggugus rangkaian jiwa imajinasi untuk hidup dan semakin berkembang. 

Optimalnya sensivitas penerimaan pembaca akan mengacu pada dua hal. Pertama, pesan penyair memang mengena dan menginspirasi. Atau pada tingkat tertentu memberikan pemahaman absolut dengan ketinggian rasa (estetika). Kedamaian yang menyejukkan, atau kebencian, dendam membara, rindu menggunung, di langit aksara yang merinaikan mantra memesona. Kedua, pesan memang tidak tepat mengena karena interpretasi yang salah. Efek sebaliknya tidak dipungkiri akan terjadi. Seperti dialog neutron (sel otak) satu dengan miliaran yang lainnya saat membantu asumsi terkondisi deterministik setelah menerima arus informasi dari sang indera. Maka akurat atau tidak, akan memengaruhi perubahan interpretasi dan paradigma setakat dengan pemaknaan dan pengalaman batiniah yang melatari.  

Puisi yang baik, melegenda, dengan kasatmata terukur dari jumlah pembaca di luar komunitas penyair. Tentu di dalam hal yang teknis demi pencapaiannya, misalnya dibukukan, banyak hal yang dapat mendukung akselerator angka-angka. Tetapi kasatmata itu ternyata masih mengandung relativitas ukuran kualitas. Antara kelayakan sebuah inspirasi, manfaat dan harga, Pasir Dan Buih dari sebuah buku maha karya Kahlil Gibran, terkait sekalipun dengan perbandingan karena inflasi, tahun 90-an hanya dihargai tiga ribu rupiah. Demikian pula dari ukuran waktu, puisi itu tidak mudah hilang atau mengalami situasi volatile (mudah menguap). Secara kualitas namun sulit tertakar, puisi memasifkan daya kelanggengan yang menyertakan penghayatan serta membawa angin perubahan, dengan atau tanpa keselarasan bilamana penyair atau penyajak memiliki target tertentu.  

Tidak ada yang salah puisi selalu berbicara tentang diri sendiri. Di muka penataan buku-buku terlaris, sebuah toko memamerkan jenis sublim (indah, agung), kritik sosial, bahkan picisan. Terkait dengan hal ini tanpa bermaksud melecut kebangkitan dengan kata "QUO VADIS" arah puisi di kanal fiksi kompasiana, penulis dengan pemahaman awam teringat kembali pesan GLMax. Terima kasih. Namun di sini hanyalah ingin menukilkan saja tanpa bahasan karena kendala yang lain dari penulis sendiri.  Bukan pula dengan maksud menandaskan percaya diri akan meningkat beriringan hanya berdasarkan angka-angka laris semata-mata. Bahwasanya, kunci sukses sebuah puisi berkualitas telah menjadi sebuah keutamaan bilamana ukuran itu berjalan sepadan dengan seberapa besar perubahan yang nyata terjadi atau seberapa besar manfaat yang dapat di ambil oleh pembaca sendiri. Dari kutipan hal. 2, buku saku Skill With People, penulis Les Giblin seakan hendak memberikan jawaban sederhana :

Orang terutama tertarik pada diri mereka sendiri, bukan pada anda! Dengan kata lain -- orang lain itu sepuluh ribu kali lebih tertarik pada dirinya sendiri daripada tertarik pada anda. Dan sebaliknya! Anda lebih tertarik pada diri anda sendiri daripada anda tertarik pada orang lain mana pun di dunia ini. 

Tentang waktu penghayatan dan sensivitas penerimaan, penulis ingin mengibaratkan sebagaimana kata penutup di bawah catatan iseng-iseng ini. Berharap, penulis fiksi atau yang mendalami psikologi dapat menjelaskan tentang peran puisi. Semoga. 

Semakin bergegas penalaran saat memintasi bentangan waktu 
semakin aporia sel-sel literal menemukan kodrat manusia
karna sang waktu berdalil, aku hanyalah topeng khayali di selaput bening matamu
Semakin tinggi pembatiniah saat menarik bentangan waktu 
semakin likuid embun pagi mengisi relung-relung jiwa
karna wang Waktu berbisik, aku adalah rahim imajinasi di mega-inspirasimu
Engkau dan waktu, satu ibu seribu kartika

Catatan :
*) Kiasan dengan penegasan, pertentangan, perulangan, pertautan, perbandingan, dll. Biasanya disertakan menjadi bagian bahasan gaya bahasa di dalam buku-buku pedoman EYD.
**) Konsep mendasar yang sering ditemukan dalam pendidikan bahasa. Penulis angkat istilah ini dari buku Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi, karya A.G. Hadzarmawit Netti.

Sekali-kali mengisi catatan di kanal lifestyle kompasiana. Kepada pecinta fiksi, Anda telah memberikan inspirasi menjadi pembelajaran luar biasa. Memberi tanpa mengharapkan pengakuan dan harga. Tetapi segeralah dibukukan. Sayang kan? Salam.

Sembari dengar Youtube : http://youtu.be/PFx3a7KfN0c