Satu Hari Tiga Tahun untuk Anak


"Aku tidak salah. Tapi mengapa aku ditendang?" sang anak bertanya sambil menangis.
"Kamu pernah berbuat jahat?" tanya Ayah.
"Aku baik kok. Dianya yang begitu terus."

Sang ayah berusaha menyediakan waktu bagi pikirannya, agar berjalan mengikuti jejak-jejak peristiwa yang memilukan bagi anaknya.

“Apa yang seharusnya menjadi jawaban, sementara peristiwa yang sama terjadi berkali-kali selama tiga tahun? Anakku selalu pulang dengan luka. Di lutut karena sering dijatuhkan. Di wajah tertusuk pensil dan hampir-hampir mengenai mata. Bahkan di pipi kiri membekas baret panjang karena keroyokan. Kepalanya selalu diinjak-injak di taman berlantai batako. Dia… tidak menangis lagi. Hal yang telah lama diderita menjadi terbiasa. Derita menjadi sasaran kekerasan di lingkungan anak-anak. Kenyataan telah membuktikan, jawabanku belum mampu membantu meringankan beban utama di benaknya. Anakku telah membutakan mata hati di bawah pembenaran sepihak.”


Akhirnya Ayah sengaja mengambil cuti kerja satu hari demi kerja ekstra mengawasi.  Diam-diam ia mengamati sebuah keramaian saat jam istirahat sekolah. Tiba-tiba dirinya terheran-heran melihat seorang anak yang terjatuh tetapi mendapatkan perhatian lebih dari teman-teman yang lain. Mereka memarahi seorang sahabat yang menjatuhkan anak itu. Tidak lagi peduli siapa yang bersalah, apakah sengaja atau tidak disengaja.

Ia senang sekali. Degub jantung berpacu bersama yel-yel kemenangan. “Nanti akan aku sampaikan temuan ini kepada satu-satunya juniorku. Jagoanku.”

Menjelang malam Ayah memanggil, “Abang, ayo duduk dekat sini.” Anaknya menuruti. “Begini… engkau memang tidak bersalah. Tetapi pernahkah engkau memukul seseorang di depan umum dengan tangan ataupun kakimu? Atau menghina dengan perkataan yang tidak sepantasnya di depan teman-teman yang lain? Perhatikan…, mereka yang menyaksikan tidak melihat engkau salah ataupun benar. Mereka hanya tahu, seorang yang kasar harus diperlakukan dengan kasar. Seorang yang suka menghina, sepantasnya diperlakukan setimpal. Walaupun tidak pernah mengalami hal yang sama, hati mereka merasakan sakit jika perlakuanmu itu menimpa dirinya. Dengarkan baik-baik, ya! Jika seseorang bersalah, sampaikan saja bahwa itu tidak benar. Oke? Lalu mengalah jika dia masih merasa dirinya tidak salah atau merasa paling benar. Percayakan saja sementara dengan waktu karena setidaknya engkau telah memberi nasihat. Mungkin di malam hari pada saat ia akan berdoa atau besok hari ketika tertimpa hal yang sama-sama menyakitkan, dia akan terpikir lagi dan berpikir kembali dengan pemberianmu.”

Hal ini dengan terpaksa disampaikan Ayah. Sekalipun tiada keinginan cara tersebut berlangsung sama selamanya. Ia tekadkan niat untuk sebuah rentangan pengajaran dalam pergaulan anak-anak sebaya, sejalan dengan kecerdasan penerimaan sang anak. Hal-hal prinsip yang harus mengakar dalam :

Mengalah tidak berarti kalah. Memahami, anak belum mampu menerima utuh, arti kekuatan kata memaafkan yang rela melepaskan rantai harga diri di depan kebenaran. Memahami, anak perlu belajar mengetahui banyak cara, bagaimana menyampaikan teguran terukur tanpa harus melumpuhkan. Sementara jiwanya yang masih lemah membutuhkan rasa aman. Namun kemanjaan yang berlebihan akan merusaki akar pertumbuhan jiwanya di kemudian hari. Perspektif ini bagaikan pantulan dua cermin. Haruskah satu cermin diri retak di belakang kepala saat bercermin muka? Anak akan selalu kehilangan kepercayaan diri karena ketidak mampuan menemukan jawaban dari satu dimensi. Kemampuan itu berbicara tentang terapan dua sisi yang saling berhadapan, kecerdasan dalam interaksi sosial.

Ia pun membuka seluas-luasnya pintu dan jendela di ruang jiwa, bagi ruas garis-garis sinar yang mengangkat lagi harapan penyembuhan akibat kuasa keegoisan. Hal apa saja yang menoreskan kekelaman sejarah pahit dengan kepekaan hati. Akhirnya ia duduk bertopang dagu dengan kedua mata tertutup, seraya melepaskan tanya dan jawab dalam sebuah renungan.

“Yang kini menjadi pertanyaanku, bagaimana jika terjadi karena warisan generasi? Turun-temurun kehilangan pegangan saat mengolah cara mengatasi kenyataan yang dihadapi. Apakah selalu dengan reaksi, mudah menyerahkan jawaban kepada langkah-langkah pintas? Aku adalah seorang ayah yang harus melepaskan kebencian dan dendam lama, yang sengaja aku benamkan ke dalam lautan kelupaan. Agar merekatkan pancaran ketulusan dari mulutku dengan kata-kata peneguhan di atas luka-luka batin anakku. Karena itu tidaklah salah. Aku harus sekali-kali mengambil resiko kehilangan satu hari kerja. Mencermati apa yang sesungguhnya terjadi, menemukan jawaban yang selaras dan tepat, atas kesalahan-kesalahan yang sama selama tiga tahun. Sang waktu akan menunjukkan arah telunjuknya, sekalipun aku sengaja memilih dalih lupa.”
————

Tiga tahun telah berlalu. Kini anaknya duduk di bangku SD kelas 6. Sang ayah sengaja kembali cuti. Ia ingin sekali berada di sana sebelum bubaran sekalian membuktikan kebenaran cerita-cerita yang berseliweran di telinga.

Mudah-mudahan kelegaanku selama ini lebih diyakini setelah melihat kembali pergaulan mereka sehari-hari. Ada yang mengabari, banyak di antara mereka yang merasakan suasana keramaian karena kehadiran anakku. Sebaliknya sunyi senyap jika ia tidak masuk sekolah. Benarkah Jagoanku ini telah menjadi jawara, dengan pribadi yang menghangatkan bagi yang lain? Tentulah ini sebuah anugerah.

Senyum sang ayah berseri-seri menghiasi rasa syukur, sesaat mereka terlibat dalam sebuah percakapan, bagaikan naskah drama yang hidup dan tak mungkin terlupakan sepanjang hidupnya.

Natali : Om! Tadi di kelas aku ditendang Abang.
Teman Natali : Bohong Om, Natali hanya cari perhatian Abang.
Ayah abang (Om) : Benar Abang tendang Natali di kelas tadi?
Abang dengan wajah heran berkata : Masak aku tendang perempuan!

Walaupun Ayah belum begitu mengerti tentang istilah perhatian menurut pengertian mereka, tiba-tiba ia terperangah. Entah dari mana datangnya halilintar yang menyambar kelegaan pembuktiannya hari ini, ketika pendengarannya tertembus dengan satu pertanyaan. Sang anak mendekati dan berbisik, “Ayah, sekarang aku boleh enggak pacaran dengan Natali?”

Senyum Ayah tidak berubah sedikit pun. Seakan-akan mengamini. Lalu berakhir dengan gerak kepala ke kiri dan ke kanan. Perlahan-lahan, berulang-ulang. Dalam hati terucap, “Berat nian tugas ayah. Bebannya terasa menghimpit ke seluruh tubuh. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Lah, dulu hanya satu hari untuk tiga tahun. Waduh… kali ini, bakalan tak tersisa lagi... semua masa cutiku.”
____________

Refleksi Puisi

Kilasan waktu membuka lembaran kenangan lama pada sesi refleksi puisi. Ketika suatu saat menjelang sore, sang ayah tadi mengantar anaknya yang penuh luka, berobat ke sebuah klinik dokter. Terpampang poster puisi di dinding ruang tunggu.

"Hem, puisi Dorothy ini isinya sama dengan sebuah poster di ruang kelas anakku. Hanya sayang tidak tertera nama pengarang."

CHILDREN LEARN WHAT THEY LIVE

If a child lives with criticism, he learns to condemn.
If a child lives with hostility, he learns to fight.
If a child lives with fear, he learns to be apprehensive.
If a child lives with pity, he learns to feel sorry for himself.
If a child lives with ridicule, he learns to be shy.
If a child lives with jealousy, he learns what envy is.
If a child lives with shame, he learns to feel guilty.
If a child lives with encouragement, he learns to be confident.
If a child lives with tolerance, he learns to be patient.
If a child lives with praise, he learns to be appreciative.
If a child lives with acceptance, he learns to love.
If a child lives with approval, he learns to like himself.
If a child lives with recognition, he learns that it is good to have a goal.
If a child lives with sharing, he learns about generosity.
If a child lives with honesty and fairness, he learns what truth and justice are.
If a child lives with security, he learns to have faith in himself and in those about him.
If a child lives with friendliness, he learns that the world is a nice place in which to live.
If you live with serenity, your child will live with peace of mind.
With what is your child living?

Maafkan aku Dorothy. Puisimu kok membuat mataku terbaca sempurna, kalau aku ubah kata “anak” jadi “anak bangsa”. Biar tak sedikit mataku menangkap karena sedikitnya ketidak-lupaan. Maafkan aku anakku karena sebuah kekhawatiran, kelak engkau besar Ayah akan diwariskan sifat dan warisan kebanggaan lainnya yang jauh dari mimpimu di sekolah. Maklumlah, Ayah dan Akung  dulu belum pernah baca puisi kayak gini. Maafkan aku kepada sahabat yang masih berkecamuk di bawah otoritas kebencian dan keserakahan. Puisi ini tadinya akan dibacakan anakku dalam acara kenaikan bendera. Di depan hamparan wajah-wajah yang mengaku pemimpin, senior, dan pemimpi konsistensi. Tapi dari seorang Dorothy? Pikir lagi dan pikir-pikir. Apalah arti sebuah puisi dengan citra nama besar penciptanya? Begitu pentingkah mata pisau analisaku mengenal siapa sesungguhnya pemilik nama itu? Perlukah sebuah narasi memori membubuhkan pernik karakter mulia di atas pesannya jika puisi itu tidak hanya untuk kemenangan dan kebanggaan miliknya sendiri? hingga pesan dengan mudah aku tepis. Imajinasi yang terbentang sepanjang langit enggan memayungi mereka yang sesungguhnya memiliki kerendahan hati. Terpenjara dengan bayangan sendiri.


Mari nikmati dia dengan lagu, sambil bergoyang-goyang dikit badan lesu dan kepala mumet. Bosan juga terus-terusan melihat berita-berita yang tak nyambung-nyabung di kepala. Kapanlah ada sedikit tersisa, ketenteraman penuh kedamaian di antara kita yang tidak sedia lagi mengenal cara kita belajar dan dibesarkan? Bersama kita bercanda dengan diri sendiri, sambil ngopi.


Sebagian diedit dari tulisan lama (renungan pribadi komunikasi pendidikan)

Anak Belajar Dari Kehidupannya (terjemahan yang umum)

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan,
ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman,
ia belajar berdamai dengan pikiran


Black and White - Three Dog Night

The ink is black
The page is white
Together we learn to read and write
The child is black
The child is white
The whole world looks upon the sight
The beautiful sight


And now a child can understand
That this is the law of all the land
All the land


The world is black
The world is white
It turns by day and then by night
The child is black
The child is white
Together they grow to see the light
To see the light


And now at last we plainly see
We'll have a dance of liberty
The world is black
The world is white
It turns by day and then by night
The child is black
The child is white
The whole world looks upon the sight
The beautiful sight


The world is black
The world is white
Tt turns by day and the by night
The child id black
The child is white
Together they grow to see the light
To see the light


(repeat last two verses)



Three Dog Night - Black & White by MICKWILBURY001