Cahaya Keteguhan dan Prinsip, Orang Tua Angkatku (I)

BAILARÉ, BAILARÁS, Demis Roussos

Bailaré, bailarás.
Cantaré, cantarás,
cuando vuelvas 
para no decir adiós.

Bailaré, bailarás.
Cantaré, cantarás,
al volvernos a
encontrar tu y yo.

Cantarás, cantaré
al pisar el andén
donde tanto se perdió
porque partir
siempre es morir
un poco… un poco.

Bailaré, bailarás.
Cantaré, cantarás,
cuando vuelvas
para no decir adiós.
Viviré, vivirás
cuando queden atrás
tantas frías noches 
sin amor.

Cantarás, cantaré
cuando bajes del tren,
aquel tren que se llevó
parte de mi
a otro país
lejano… lejano.

Bailaré, bailarás.
Cantaré, cantarás
cuando vuelvas
para no decir adiós.

Viviré, vivirás
cuando queden atrás
tantas frías noches sin amor.

Bailaré, bailarás.
Cantaré, cantarás
cuando vuelvas
para no decir adiós.

Bailaré, bailarás
cuando no exista más
la distancia entre tú y yo…
-------------


Prolog 
"Hei, sadar tidak dengan dirimu. Kamu itu mandul. Kamu itu perempuan murahan." Perkataan ini keluar dari mulut Sang Suami yang sedang memegang tangan, demi melindungi seorang wanita simpanannya. Istrinya yang menangis, terjatuh dan berlutut. Memohon langsung kepada wanita itu, agar suaminya yang sah berkumpul kembali bersama. Dunia semakin tidak jelas memberikan alasan-alasan arti dan harga perempuan murahan. 

Cerita Masa Kecil Kondrad 
Lagu jadul di atas memang satu dari lagu favorit. Dan aku dedikasikan bersama cerita ini kepada Ayah Angkatku selama SD-SMP.  Figur ideal seorang ayah berwibawa dan menjadi tokoh yang sangat dihormati masyarakat, khususnya dalam pelayanan penegakan hukum. Ia meminta dengan sedikit memaksa. Bahkan tersirat menggunakan pengaruhnya ke orang tuaku yang tinggal di kampung perusahaan, untuk menjadikan aku sebagai anak angkat dan tinggal di kota. Kota kecamatan ini kini telah  berubah menjadi kota kabupaten. Tujuannya tidak lain, agar Theresia anak dari saudara jauh mereka yang telah lama tinggal bersama, punya teman belajar. Keluarga ini memang belum dikaruniakan seorang anak kandung. Akhirnya ketika naik ke kelas empat SD, aku bersedia pindah dengan syarat, tetap diijinkan pulang setiap bulan. Mungkin saja mengangkat anak dilakukan, karena ingin membuktikan betapa besar kesetiaan dan rasa sayang kepada istrinya. 

Ibu angkatku seorang guru sejarah. Suatu yang kebetulan, waktu di SD, Ibu adalah kepala sekolahnya. Dan ketika di SMP, ia menjadi Kepsek. SMP. Di bidang keagamaan, karena integritas yang tinggi, ia ditugaskan sebagai Bendahara II, sebelum akhirnya ditunjuk dengan suara bulat menjadi  sekretaris yayasan. Sehingga tidak saja di rumah, di tempat ibadah dan di sekolah, kami pun semakin sering bertemu. Kami mendapatkan kelimpahan perhatian dan kasih sayang dari berbagai peran yang ada pada Ibu. Saat itu dimanapun aku dan Theresia berjalan, selalu saja ada yang menghormati kami dengan sapaan yang santun, atau sekedar menganggukkan kepala. Terasa sekali, pengaruh wibawa, prestasi, kemampuan kepemimpinan Ibu dan Ayah, telah menutupi kekurangan di dalam diri mereka. 

Dalam renungan malamku, aku semakin menyadari sifat-sifat mulia manusia. Tidak saja hanya karena kebutuhan lahiriah, memberikan kasih sayang merupakan kebahagiaan tersendiri yang mampu melampaui kondisi tertentu. Sebagai tokoh panutan, mereka pastilah sering tanpa pamrih, terlibat dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Sekalipun sering mendapatkan cibiran dengan kata madul. Mandul telah menjadi bahan ejekan di belakang kehadiran mereka. Bisa saja hinaan itu sengaja didengarkan, agar memupuk keegoisan mereka masing-masing, hingga salah satunya tergoda membenarkan tindakan selingkuh atau penceraian. Siapa yang tidak akan pernah larut dalam  kesedihan berkepanjangan? setelah menikah sekian tahun, mereka mengetahui bahwa pasangannya diklaim dokter tidak akan memiliki anak.

Namun di rumah suasana itu berbeda sekali. Kenyataan di depan mataku, kebersamaan, saling mendukung dengan kesadaran masing-masing, menjadi rahasia kekuatan kesetiaan dalam menjalani bahtera rumah tangga. Rumah tangga yang lazim dikatakan sebagai keluarga yang tidak utuh, jika tidak memiliki anak dari buah kandungan sendiri. Kami apalagi yang lain,  tidak mengetahui siapa sebenarnya yang tidak subur atau disfungsi. Pernah beberapa kali aku merasakan mereka tidak saling berbicara sepanjang hari. Mungkinkah karena terkait dengan masalah itu? Tetapi tak lama berselang waktu, mereka mampu kembali menunjukan kemesraan. Layaknya sepasang merpati yang baru memadukan kasih. Seakan-akan kesedihan begitu mudah untuk dilupakan. 

Saat merasakan pahitnya kehidupan, aku semakin terbuka mata melihat kenyataan yang terjadi. Masih ada manusia-manusia yang tetap kokoh mengagungkan cinta mereka. Walaupun hidupnya miskin, pasangannya cacat, terjangkit aids, mandul, pernah memiliki wanita atau laki-laki simpanan. Tidak juga saat diketahui pasangannya pernah menjadi pelacur. Aku semakin menyadari, masihlah banyak manusia yang mampu dan mau melakukan pengorbanan diri menjadi sampah-sampah dari penilaian masyarakat. Diolok-olok,  dicemooh, ditertawakan karena kondisi pasangannya. Justeru untuk menata kaca-kaca sublimasi jiwa dengan kejujuran diri, dan perbuatan baik adalah inti dari keagungan itu. Sejatinya, perubahan penilaian terjadi karena kesadaran dan konsistensi untuk memberikan keteladanan.

Apa yang aku harapkan, harus aku buktikan terlebih dahulu berkali-kali tanpa meminta-minta belas kasihan atau mencari nama baik. Sekalipun sulit diterima dan penuh pengorbanan harga diri. Latar belakang bukanlah keutamaan yang membelenggu alasan-alasan semu, karena menyangkal kenyataan diri. Maka pengendapan nilai karena repetisi dengan tindakan yang memancarkan cahaya keteguhan dan prinsip, dalam renungan manusia akan terjawab sendiri, bagaimana jika mereka yang mengalami itu adalah aku. 

Ketokohan Ibu dan Ayah pun membuktikan, kerendahan hati ada dalam diri setiap manusia yang merasakan kehadiran mereka. Kemuliaan manusia tercermin dari apa yang pernah ia lakukan, tidak hanya karena satu kali dalam suatu waktu, atau hanya dalam satu kali ikhtiar.

Di ujung renunganku, tampaklah jelas ada peran pelayanan tanpa disadari. Mereka telah mengusap 1000 cermin kemuliaan hati yang sesungguhnya adalah bahasa hakiki dalam diri setiap manusia. 

Khalil Gibran (hal.72 Kata-kata Dahsyat Sang Maha Cinta) :
Jika orang lain mentertawakanmu, engkau boleh mengasihaninya, namun jika engkau mentertawakan orang lain maka engkau tidak bisa pernah memaafkan dirimu sendiri. Jika seseorang melukaimu, engkau bisa melupakan luka itu, namun jika engkau melukainya maka engkau akan selalu mengingatnya. Dalam kebenaran, orang lain adalah dirimu yang paling sensitif yang diberi tubuh lain.

-------------