Pengatar Puisi Anakku Terbilang (I)



Dari tumpukan berkas di meja sahabatku, Barry B. Hirah, terselip dua lembar kertas ber-print out bait-bait puisi. Pikiran lagi-lagi terpaku setelah kurapal habis. Siapa dia sebenarnya? kenalku sebatas pergerakan. Dia pendatang baru, luwes, karismatik, eksentrik, rada geeran, dan cepat diterima. Takbutuh setahun aktif dinobat menjadi jenderal lapangan.

Dalam sebuah acara simulasi ketika mengikuti pelatihan bersama dulu, aku pernah menghadiahkan dua tamparan. Perintah Instruktur harus keras.

“Plak,” terdengar setengah niat.

“Terlalu pelan. Bayangkan di barisan depan, kamu itu tentara yang diolok-olok mahasiswa. Benar-benar mendidih. Muka merah seperti udang rebus!” Instruktur serius marah-marah.

“Pluuuuuuuuuak,” tidak ada halangan lagi. Kulihat mata dan pipi kirinya merah. Berhasil.


Duh, untunglah tidak terkapar. Atau sensitif seperti anak-anak tanggung yang bangga dengan kedinasan ayahnya di kompleks rumah tentara karena dihardik secuil kuku. Pelatihan ini memang memermak mental. Tidak kuat gugur, tidak mampu mundur.

Kondrad iseng-iseng merekomendasi. Dia bara yang mampu merangkul spirit kita di lapangan. Instruktur bahkan mengamanatkan nama Hirah: hitam laksana urat kuarsa abadi di celah sesang dan merah di bara menyala. Nama yang mirip dengan namaku, Bara’.

Kini Hirah tidur-tiduran di kamar hotel para bintang penghuni Lapas. Kebetulan saja nasibmu kawan. Mungkin saja giliranku di aksi berikut. Tetapi jalan hidupmu mengingatkan kisah  seorang pujangga Romawi. Prinsipnya kemilau matahari. Pujangga tidak perlu tahu detail apa yang terjadi dengan karya-karyanya. Siap menerima akibat. Semua apresiasi hanya jubah kebesaran figuran. Ia tidak perlu lagi membuang waktu memilih bahan kain apapun. Tekstur bermotif apapun. Atau mengupah perancang termahal. Karyanya sendiri lentera yang banyak dibicarakan di lembaran ruang kerja penyair dan di pentas-pentas sastra. Ia berada di luar jangkauan setelah tulisannya dibaca orang lain. Semakin purba, semakin dicari, semakin menginspirasi, semakin bersinar sepanjang masa.

Kaisar membuang sang Pujangga ini. Ovid¹ tua terasing di pinggiran Laut Hitam. Sebelum karya terakhir rampung, hayat Ovid berlalu. Bukti menulis tiada terkekang takdir yang hadir hilir mudik sesuka-sukanya. Apalagi terkekang sebatas menanggung akibat selain itu. Terhakimi, terindimidasi, atau terkunci surga penulis hasil rekaan pembacanya semata-mata, serta-merta, dan semena-mena. 

Aku juga pernah mendengar kisah wanita penulis tanah air². Hanya karena di dalam cerpennya mengangkat satu kasus yang ditabukan pihak tertentu, ia menerima ancaman pembunuhan.

Yah, penulis-penulis demikian sejatinya tidak melepas diri dari keberpihakan, harapan, dan idealisme. Meski tekanan mencengkeram, karpet tebal³ selalu tersedia menyambut para penulis yang terpanggil membumikan karya-karya pencerahan. Sisi lain, tersedia analog  ‘jiwa dan tubuh’ di antara kepekaan dan makna hakiki yang diperjuangkan bersama. Jika salah satunya terpisah, tubuh itu mati. Tubuh yang utuh akan mati hanya karena takdir. Absolut jiwanya bernama inspirasi. Satu determinasi telah berada di sendi-sendi peradaban. Atau tersimpan anggun di museum pribadi.

Bagaimanakah geliat perjuangan mereka esok hari? Tuhan saja yang tahu. Sebab halaman sejarah tidak berbicara kecuali perubahan itu sendiri. Penulis akan merefleksi diri. Apakah tema-tema yang diusung tereksploitasi hanya demi kepentingan lain atau konsisten fokus. Akhirnya kemurnian mempertanya karpet tebal yang memperkuda perubahan. Ah, tepuk jidat dulu.


Keterangan kutipan :
(1) Diketahui (awam) Ovid adalah nama panggilan dari Publisius Ovidius Naso. Salah satu referensi dari tulisan Dr.Tri Budhi Sastrio.
(2) Pesan tertulis dari Putu Wijaya. “Helvy, menulis adalah berjuang.” Lalu ia berkata (potongan) kepada guru bahasanya, “Menulis itu perjuangan yang menyenangkan.” Salut.
(3) Terinspirasi dari lagu “I am the highway”. Terbaca : Tidak semewah ‘pearl’ atau senista ‘swine’ , dll.  Jadilah diri sendiri. Atau Andalah pemimpin sejati diri Anda sendiri.




I AM THE HIGHWAY

Songwriters: Commerford, Timothy; Cornell, Chris; Morello, Tom; Wilk, Brad;


Pearls and swine, bereft of me
Long and weary, my road has been
I was lost in the cities alone in the hills
No sorrow or pity for leaving I feel, yeah
I am not your rolling wheels
I am the highway
I am not your carpet ride
I am the sky
Friends and liars, don't wait for me
'Cause I'll get on all by myself
I put millions of miles under my heels
And still too close to you I feel, yeah
I am not your rolling wheels
I am the highway
I am not your carpet ride
I am the sky
I am not your blowing wind
I am the lightning
I am not your autumn moon
I am the night, the night
And I am not your rolling wheels
I am the highway
I am not your carpet ride
I am the sky
But I am not your blowing wind
I am the lightning
I am not your autumn moon
I am the night, the night
Yeah
Yeah
Yeah
Yeah