Lembar Pertama : Puisi Anakku Terbilang
malam kami menarik bulan ⫽ saat merasakan panasnya mentari ⫽ karna siangmu liurkan mentari ⫽ saat tanganmu sedingin malam
genggam tajam tawatawa setajam ⫽ pisau palet di kanvas jiwa memiara ⫽ babaran surga baru di diam merejam ⫽ jawablah jika ingin tidaklah lagi ⫽ sandarkan kalam ⫽ merahimi
genggam tajam tawatawa setajam ⫽ pisau palet di kanvas jiwa memiara ⫽ babaran surga baru di diam merejam ⫽ jawablah jika ingin tidaklah lagi ⫽ sandarkan kalam ⫽ merahimi
engkau yang tiadakan aksara manakala ⫽ hirasmu menyeberangi arah sebenarnya ⫽ ingin mendengar mu buta selayaknya ⫽ embunembun berpangku sebelum tiba ⫽ fajar merangkai tepian sadar dedaunan ⫽ begitulah di reranting mimpi menandakan ⫽ jiwamu kusumakusuma yang tidak akan ⫽ meniadakan cahaya bersangkar lupa ⫽ katakanlah diammu melalui rahasia ⫽ mereka
jika sedari dulu ada di tangan kiri ⫽ bom waktu karna di tangan kanannya ⫽ pupapupa dari rumah kaca berkatarak sunyi ⫽ dia menjauhkan mata batinnya bermakna ⫽ dengan segala alasan dan cara ⫽ terbuka misteri waktu dan kebenaran ⫽ cara mereka memperlakukan
Renungan Bara’
Belum tentu kehamilan di luar nikah hanya disebabkan kesalahan pergaulan remaja. Karena “sebab” tidaklah berdiri sendiri.
-----------------------------------------
-----------------------------------------
Puisi terkait sebelumnya :
Puisi berikut : Mereka Julukiku Hanya (I) – Lembar Akhir : Puisi Anakku Terbilang