Dinding Perenungan, Monolog Niskala Mutiara

Memerikan jawaban-jawaban hakiki tanpa menyelami, mawas diri menemani momen kesadarannya agar beranjak pergi. Keberanian pulas, retak paras. Merahimi pengetahuan tanpa cahya nurani, keseimbangan hakekat dan rasa menyekap raga maknawi agar mati suri. Waktu sekarat melepas, sangkal jiwa bernas.

Sesungguhnya irasional beranda euforia maya terhembus menyertai syair melodius ini. Sesunyi sehelai selaput beriritasi, merentang di celah-celah air mata membatu dengan keasrian alami. Berkurun-kurun tertegun di kilauan warna nan anggun, adalah kesaksian riwayat merintih. Mengabaikan tanya mengapa atas tanya, berbincang indera menggatra cahya kekal abadi menerangi. Tiada gentar monolog mutiara menundukkan jaman demi jaman, mencari jawaban linier yang terukir di dinding perenungan. Metafora cakrawala pada cipta cakrawala, bermakna ukiran berelemen purna.

Sang Niskala Mutiara tidak mengira, gubahan sekadar di atas dari kuas imajinasinya, mengalirkan rangkaian kata-kata tertumpah ruah begitu saja. Barangkali saja inilah hasil renungan yang terseduh jawaban simpatik engkau di sana. Ringkas, namun efek cahaya itu menurunkan renungan panjang. Serupa turunan ribuan kapal layar riposta dari galangan yang berbeda-beda, berlayar mencari pasangan serasi proposta, apakah daratan larik mereka berpadanan definitif, atau serasa sia-sia belaka. Sungguhpun pilar-pilar kesadaran akhirnya timpang tersandung garis meridian nol, ambruk tanpa daya saat itu. Awal rima nihilkan makna, ujung parafrasa barisan puisi dinginkan relevansi kata-kata, kala usai satu malam mendayukan aria.

Bagaikan lilin-lilin kecil menilik titik sentrum keindahan dalam kehampaan pertanggungjawaban. Bertahan dalam pesona drama musikal bergenre futuristis, bertahan dalam semunya kencana nirwana fiktif, bertahan dalam ruang gila-gilaan mengekploitir neraka berfantasi, bertahan dalam gundukan syair-syair berlumut imitasi, mampu membebaskan belenggu-belenggu kekosongan makna peristiwa lama. Lupa untuk lupa, selalu untuk selalu, nihil untuk nihil. Tidakkah sedianya mengalir deras, inspirasi beriak-riak bertautan, mengadu dan beradu di tiang-tiang kayu penyangga jembatan kecil, manuskrip-manuskrip telaga inspirasi berikrar setia. Engkaukah di sana untuk aku di sini?

Mengapa, mengapa begitu kejam hawa dingin meremukkan keteduhan bumbungan malam? Seakan-akan bayangan diri tergesa-gesa menghindari, berlari-lari di kejar laskar-laskar memburu dengan pertanyaan yang sama. Bak irama terputus-putus, terlontar segala amarah tak bersuara ke segala penjuru bintang-bintang terjauh, tak jua sensasi tanya itu pergi. Mujurkah nasip telah melumpuhkan alasan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, menjadi seni memahami dalam hening, bahwasanya kesadaran lebih berfundamental daripada tumpukan ilusi?

Bagaimanapun juga, masa memasuki guha kepurbaan dalam perenungan, adalah momen penyempurnaan karakter-karakter berbicara proses memahami dan memanusiakan diri. Niskala Mutiara sejenak menahan nafas beban pendalaman kontras dualitas. Apa yang sebenarnya terjadi, bila partitur kali ini teraransemen tanpa kaidah tepat nalar dan rasa?

Di muka kabut putih yang terhambur melalui mulut sosok tak berbayang tadi, berjajarlah satu-satu artifisial menyerupai Medusa. Ingin rasanya ia kembali berjalaran, memagut seluruh markah lorong-lorong udara di rongga dada. Menjambak sulur kultur baku pikiran dengan kebuntuan kontekstual. Rembesan sisa berbisa merambat, inginkan penaklukkan ketinggian benteng harga diri dalam kesabaran. Kekakuan menyisakan dilema bagi halusinasi akut pencarian pembenaran jati diri. Membius dengan alasan-alasan manjakan pernik-pernik abstrak di jubah kaku membatu, membelakangi jejak suara hati ketika mata terbuka mengusik perhatian di depan muka Medusa. Tiada arah pertanggungjawaban akan nilai ekuilibrium dalam kebenaran dan konsistensi. Adakah pandangan ketakutan yang tercipta berkali-kali, bayangan itu menjadi batu atau cermin yang memenggalkan diri sebagai pangkal penempaan?

Karena terlena gairah semusim, embrio-embrio beralasan ini masih berada di area intro seritmis gerak alamiah tubuh. Di pinggiran dinding gua berleluasa, menganggit jawaban bermakna. Mampukah penerimaan ujian nyata dan maya ujudkan keutamaan sandaran nalar semata? pengalaman membaurkan diri ke inti alam pikiran konduktor, arti tematik mengiring, menuntun dan bersanding ;

Pembelajaran bersama meneguhkan basis karakter mumpuni, mereka menikmati proses musim berganti. Hingga ketajaman seni hidup terbiasa, fasih mendaras epik kehidupan damai dan meneduhkan. Sebab keseimbangan berbicara pengorbanan dan keberanian kekinian, saat menyeimbangkan hakekat dan rasa, atau hanya jelang ajal rampungkan kesadaran.
---------------------------------------------

Catatan : Seri Baton Konduktor. Bersambung.
Teman inspirasi dari musik Youtube ORGES BIZET - Aria from The Pearl Fishers.
Reposting dari http://fiksi.kompasiana.com/novel/2011/11/22/dinding-perenungan-monolog-niskala-mutiara/