Saat Dipanggil Mahasiswa
Aroma sangit terkuliti, satu-satu aksara bermutasi, kehendak murni tertitis ‘masih’. Bersama kandil dan lilin, bocah-bosah sedikit galau ini menerawangkan suajana mata Panta Rhei mengarifi perginya siang. Bersama nurani dan visi mahasiswa, mereka menyusun sandi sastra menyala indah sepanjang bantaran perginya malam. Mudah-mudahan peta maut enggan berpunca kaldera baru selagi Tuhan memiliki nyawa kita dengan satu kata: masih. Sebab, mati suci tidak untuk dicari-cari melebihi takaran takdir sebagaimana anugerah hidup itu sendiri: diberi.
Lagi dan lagi, entah dari mana gaung kekar menggegar kepalan kedua tangan, segera sepasang manik mata kembangkan sayap-sayap kekinian, dan menuntun pencarian landasan perintis di balik barisan gunung tertinggi kerendahan hati Shangri-la*:
Sungguh, sajak-sajak para perekat ‘binar sutra’ nusantara yang meruwat api kaldron mereka menyangatkan varian seruan kehendak. Samar, meski mengaitpun tidak - apalagi terselubung ekstra picisan ‘isasi-isasi’ relegi diantarai - tetaplah mahamakna jernihkan penggalian dan peneguhan kodrati. Lupa atau sengaja, kita telah merangkak terseret-seret pembawaan raja-rajaan di atas gelombang mega-megaan figuran zaman yang mengaduk-aduk dimensi internal dengan kedudukan dan rancanganNya. Terlalu terombang-ambing ‘demi’ memantaskan nafas igauan dan tangisan bayi semalaman di ruangan kaca-kaca pembiasan. Kalaupun ada gerak perdamaian, ada ketelibatan welasan asih, ada advokasi bagi yang menderita, ada percik bara idealisme, berarti lahirnya prestise konkret bukanlah dari rahim ibadah, bukanlah berasal dari Tuhan, melainkan alasan nihil utopis, nama lain pemisahan dengan klise diri: demi.
Di tanah leluhur, di rumah-rumah ibadah yang angker, lentera-lentera dingin membeku, gelap terasing di pembaringan sunyi. Pada keberadaan sedemikian, kitab-kitab suci telah menyelesaikan campur tangan Tuhan hanya sampai di sana. Hak ‘hitam-putih’ selebihnya diambil alih ahli-ahli tafsir dan para filsuf tersohor, para motivator dan penceramah rohani megabintang. Kenyangnya kata-kata suci mencari kanal-kanal ratapan di luar diri: engkau memang salah, engkau muntahan kesalahan, engkau memakan kesalahan itu sendiri, bagaimanapun engkau…, titik.
Sementara tanda koma absolut syaratkan rebahan perubahan; hukum royalti surga terbatas kedok-kedok pahatan ambisi; produk keintiman mesin tirani angka-angka taruhan masif; hidup-mati sebuah eksistensi komikal simetris neraka-surga. Takkan ada Mata Tuhan di sini, kecuali kewajiban TanganNya di atas kepala kepada doa-doa ketentraman berdinding kaca tebal: berbangsa dan bernegara. Keberadaan seiring di ujung tanduk meretak, karena mengira falsafah negara, inspirasi mekanis, cermin refeleksi diri, selangkah kaprah di muka kehormatan berlentera kehendak. Takluput bau badan yang dibungkus gerakan bersih-bersih boneka ‘pom pom girls’ dan bromocorah terhormat, pelakon bertelut dan bersih-bersih di pemandian rakyat yang permisif. Siapa Tuhan kita? Sampai di mana harga pembusukan kala nurani terjungkal realitas, lebih-lebih dinistakan dari terima kasih kita? Di mana lagi kita harus mengasingkan tanah leluhur dari darah persalinan ibu, di mana?** Sekali merdeka, tetap kawula di tanah persada. Keberadaan stagnan ini niscaya bukanlah sebuah tabir berkarakter status quo, pada saat kita dipanggil mahasiswa.
“Sekian orat-oretku, teman-teman seperjuangan. Oh, ya, spiritnya dari ibu tadi, ‘Selagi nafas masih, pemelajaran abadi’, terima kasih. Oke, Jenderal Item!”
Jenderal mengiyakan. “Ayo bangkit sambil merangkul bahu teman kanan dan kiri kita! Kasihan mayoret berdiri sendiri. Green Berets kangkungnya pada mangkir. Kita nyanyikan Padamu Negeri.”
Teman-teman mulai beraksi. Tempat kosong untukku sengaja tersedia di sebelah kiri Dessy.
“Ahai, berbakat pantomim rupanya.”
Keterangan:
- Tema kangkung asin selesai.
- *) Shangri-la terkenal sebagai nama hotel yang diambil dari legenda surga kerajaan Shambhala di Himalaya. Sumber asli banyak ditemukan di catatan bawah referensi Wikipedia, Britannica, Occultopedia, atau ensiklopedia lainnya. Namun konteks tulisan dibaca sebagai simbolisasi dari penjelmaan wujud bahasa jiwa di antara batas ‘ruang dan waktu’.
- **) Direlevansikan dengan lirik lagu Fallen Embers – Enya. Sumber lirik dari Youtube.
- Teriring ucapan Selamat Hari Kartini.
Fallen Embers – Enya.
Once, as my heart remembers,
all the stars were fallen embers.
Once, when night seemed forever
I was with you.
Once, in the care of morning
in the air was all belonging.
Once, when that day was dawning.
I was with you.
How far we are from morning.
how far we are
and the stars shining through the darkness,
falling in the air.
Once, as the night was leaving
into us our dreams were weaving.
Once, all dreams were worth keeping.
I was with you.
Once, when our hearts were singing,
I was with you.