Tart Ultah Jadi Kangkung Asin (II)


Menggarami Tanpa Tanya

     “Diulangi, ya, saudara-saudara!” Aku malah berdiri sekalian membenarkan tali dan fokus senter kepala yang dipinjamkan Hira. Buyar konsentrasi terus-terusan dirisau gurau, bisa-bisa teler-keteter takkaruan. Kertas konsep di kantong jaket akhirnya diboyong jepitan jari.

     “Masih suasana hati: There tersayang, sebenarnya hari ini ultahku.” Ketimbang nggak kelihatan setan-setan penasaran bertampang jerawatan, sengaja kupicu bebas cekakak-cekikik.  Lalu dengan tebal telinga kutelurusi cincin rotasi api unggun, peragaan menggeliat ala kinesika saatnya digelar. Berdansa dengan lidah api:

Bayangkan dia tidak memiliki sepuhan emas atau huruf-huruf ‘neon box’ warna-warni mewakili, siliran angin serasa risi menemani cahaya visual di setengah malam ini, siapa plakat nama Ceremai selain penyendiri dari tampuk vulkan memerah bara?* Aku penyandang nama anak tiri yang ditinggalkan, si bengal yang tersumpal di dipan sesak ‘panti asuhan’, anak angkat yang terjebak ketidaknyamanan sekapan benak.

Dulu juara kelas, sekarang teman belajar There. Mau guru atau kawula sejati, mau atau ataukan atau, sekerut otakku gencar mendenyut sesaat dikecup kangkung-kangkung kecut. Kutinggalkan teman bermain, teman sekolah, teman seperjuangan, dan terdamparlah kesertaanku di sini, di butiran pasir halus yang terlalu rumit merekam jejak kaki selain rincian remeh-cemeh afirmasi. Aku tercerabut bentuk: kata per kata.

Dahulu, tiap perayaan ultah di pendopo tanah liat sekolah, kami membentuk formasi lingkaran dan serentak membetot senar urat-urat leher persis di lirik ‘Tiup lilinnya, tiup lilinnya’. Aku dan bocah-bocah desa, siapa peduli siapa-siapa yang ultah, bagai astronot yang gagah perkasa setelah sibuk menyelesaikan tugas mahapenting di alam semesta. Keselamatan jiwa disambut riuh rendah tepuk tangan penghuni bumi. Di hari ini, di jam ini, di detik ini, taklagi seribu lilin gelas kilaskan tanggal itu, taklagi sejuta bintang menanti-nanti lentera kertas melarung itu, taklagi satu pun kue tart melayani keagungan bersejarah api lilin itu. Terima kasih.

     Tanpa mawas diri di bawah plang agnosia, perhatian mereka kerap kali monolog:

Hai, engkau, anak-anak yang dinaungi curahan sinar-sinar perhelatan, sedangkan sebagian daripadamu melambaikan tangan, masihkah sayup-sayup sentimentilkan mimpi-mimpi skizoid: telinga pekanya menebal, kulit sahajanya membisu, mata pendengarnya memekak, lidah penglihatnya membuta?

     Dari tart kecil di menara gading, prisma kangkung asin memindai cahaya refleksi:

Dapatkah lihatmu melalui darah di nadi kita membagas ‘espirit de corps’? Singsingkan malammu,  bebaskan fajarmu. Aku merasa engkau, aku merasakan hati emas. Engkau menggarami hari tanpa tanya.**


Keterangan:


Lyrics to “Song of the Lonely Mountain” by Neil Finn



Far over the Misty Mountains rise

Leave us standing upon the heights

What was before, we see once more

Our kingdom a distant light

Fiery mountain beneath the moon

The words unspoken, we’ll be there soon

For home a song that echoes on

And all who find us will know the tune

Some folk we never forget

Some kind we never forgive

Haven’t seen the back of us yet

We’ll fight as long as we live
All eyes on the hidden door
To the Lonely Mountain borne
We’ll ride in the gathering storm
Until we get our long-forgotten gold

We lay under the Misty Mountains cold

In slumbers deep and dreams of gold

We must awake, our lives to make

And in the darkness a torch we hold

From long ago when lanterns burned

Till this day our hearts have yearned

Her fate unknown the Arkenstone

What was stolen must be returned

We must awake and make the day

To find a song for heart and soul

Some folk we never forget

Some kind we never forgive

Haven’t seen the end of it yet

We’ll fight as long as we live
All eyes on the hidden door
To the Lonely Mountain borne
We’ll ride in the gathering storm
Until we get our long-forgotten gold
Far away from Misty Mountains cold.