Kegalauan hati gelap sehitam awan. Hujan deras mulai menyayat kulitku.
Mimpiku terbawa :
Kepada para koruptor. Merampok uang negara, suap-menyuap di sana-sini dengan fee, sekongkol dengan aparat desa, lurah, camat, polisi, petugas pajak dan bea cukai, jaksa dan hakim. Semua di level bawah sampai ke level atas aparatur negara. Berhati hatilah! Engkau remehkan wibawa hukum. Engkau tak suka negaramu maju. Karena Engkau adalah penjahat negara, Nusakambangan pun tak layak buatmu. Pergilah ke kutub. Jangan ganggu manusia lain. Jika masih ada keinginanmu menjadi manusia Indonesia, bukan saja mengelus-elus keningmu karena kealpaanmu, tapi kepalamu yang penuh virus korupsi dan sel-sel moralmu rusak, kepalamu kubedah. Tak mau, retool.
Demi UUD'45, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Maka, semua aturan dan perjanjian investasi asing yang tidak membuat negara merdeka secara ekonomi, merusak sendi-sendi kekuatan penghasilan rakyat, membuat rakyat termarjinalkan, menguras kekayaan alam tetapi kantong rakyat dari tahun ke tahun semakin kempes, rakyat jadi cecunguk di tanah sendiri..., ingat-ingat, atas nama UUD, aku retool.
...
Bagi pengemplang utang negara. Rakyat yang sudah jatuh terbeban BLBI, tertimpa lagi dengan tambahan utang yang semakin membesar. Sukanya cari jalan pintas. Utang negara semakin menumpuk, bunga utang tertumpah lagi ke tangan tangan-tangan spekulan. Anda bisa menyalahkan aku karena tak realistis. Tak mengerti bahasa intelekmu. Negara sudah bangkrut, tak ada jalan lain, katamu? Kamu aku gaji tinggi dengan pajakku karena levelmu Profesor, Doktor Ekonomi, malah menambah beban pajakku dengan tambahan utang yang tak jelas ujung hasilnya, hanya untuk berkata tak ada jalan lain? Percuma dengan gelar-gelarmu. Gali lubang tutup lubang dan lubangnya semakin lebar. Engkau hanya alihkan beban negara kemana-mana. Tambal sulam dan mengulur waktu. Sumber penyakit tak urung diobati. Tensi gejala saja yang Engkau turunkan. Textbook apa yang Engkau pakai? Kapan rakyat bisa mandiri? Hai, dengarkan baik baik. Masukkan pemarataan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Hanya kemakmuran rakyatlah sebesar-besarnya dalam teorimu. Kreatiflah, karena Indonesia untuk rakyat Indonesia. Teori-teori utangmu aku gugat. Tak mau, monggo... Aku retool.
Wahai pemimpin bangsa pilihan rakyat. Saudara-saudara bilang tegakkan keadilan. Tapi demi citra, wibawa hukum, wibawa aparat hukum, Saudara simpan kata-kata itu di balik kertas kerja. Sekarang rakyat dibiarkan main hakim sendiri. Koja, Batam, Makasar, Papua, Mojokerto, Bekasi dan masih banyak yang lain. Preseden kekerasan sudah jadi tauladan terbaik. Kekerasan massal sudah jadi pilihan rakyat. Nyawa anak-anak bangsa semakin tak berharga. Salah sendiri kata Saudara? Bagaimana kalau korban itu adalah anak dan istrimu? Saudara bukanlah pemimpin sejati. Atas nama mayat-mayat kerusuhan, ingatanmu aku retool.
Rakyat bilang berantas korupsi. Engkau berjalan tebang pilih dan setengah hati. Apa artinya mandat rakyatmu? Iklan-iklan kampanye bagaikan rupa manusia setengah dewa. Sekarang pun Saudara mainkan perasaan iba dan simpati rakyat. Tapi fakta korupsi semakin membuat mereka bertanya-tanya tentang citramu. Apa bedanya semua keadaan ini dengan alam penjajahan? Kepada siapa lagi tumpuan kepemimpinan rakyat? Jika kesadaranmu tidak Engkau retool, rekam jejakmulah yang akan tercatat dalam sejarah. Jangan sekali-kali sakiti hati rakyat. Engkau kuasingkan dalam pelajaran moral anak cucuku.
Hai wakil-wakil rakyat. Apa artinya perwakilan rakyat jika semua aturan hanya untuk memuaskan hawa perut ambisiusmu. Pendidikan tinggi hanya menjadi milik mereka yang punya uang. Praktek pengacara dan tegaknya hukum menjadi industri baru. Industri yang mengagung-agungkan uang. Keadilan berpihak ke pemilik modal besar. Siapa yang bertanggung-jawab lahirnya pemimpin-peminpin daerah karbitan uang? Siapa yang bertanggung-jawab terhadap kerusuhan-kerusuhan Pilkada? Engkau wakil rakyat, prakteknya Engkau mewakili siapa? Negara modern ala Mafioso? Ini Indonesia, Bung. Jangan racuni semua aspek kehidupan dengan uang. Lalu Engkau cuci tangan. Hai, gajimu itu dari rakyat. Kenegarawanmulah yang aku butuhkan. Belajarlah dari nilai-nilai luhur kepemimpinan Indonesia. Satu kata dalam perbuatan. Tak mau, semuanya aku retool.
Hai aktivis atau mantan aktivis mahasiswa yang membawa bangsa ini ke alam baru reformasi. Engkau yang telah gagah berani pertaruhkan nyawa. Lantang bak gemuruh dari langit impian negeri. Demi perubahan, demi tuntutan atas nama rakyat. Lihatlah sekarang di sekilingmu. Tanyakan ke pemilik warteg, penjual rokok, petani dan nelayan. Atau orang tua di kampungmu. Mengapa sekarang banyak yang merindukan jaman Orba kembali? Tidak gelisah? Dimana Engkau sekarang? Sudah genap 12 tahun reformasi. Jika ketemu face to face, hatinurani dan nyalimu aku retool.
Keringat membasahi wajah dan mataku terbuka lebar-lebar. Ingin rasanya berteriak dan suaraku gelegarkan sanubari jutaan manusia. Tapi mimpi tetap mimpi. Arwah siapa lagi yang menginspirasi? Ataukah ini bagian hati yang tak bisa lagi permisif. Dan bagian itu menjadi sampah emosi ketika mata realitaku terbuka. Aku lihat tidur anakku. Wajahnya bersih nan suci. Cukup, cukuplah sampai disini. Aku telah tenggelam dalam lautan jebakan kata-kata semu sistem pembangunan. Kelak daging menjadi tanah, patrikan pesanku di dadamu,
“Jangan hanya mau jadi pemimpin negara.
Jadilah Engkau teladan bangsa!”
Jadilah Engkau teladan bangsa!”