Aku...
Aku adalah seorang suami. Aku mengutik-ngatikkan tombol HP agar dilihat orang. Aku berbaju putih bersih dengan wajah narsis. Aku menggosok kedua mataku agar tampak wajar. Istriku si cantik berwajah manis. Istriku suapkan nasi dan sepotong ayam sembari mengawal anakku bermain seluncuran di playland KFC. Aku selalu kagum dengan cinta istriku. Tetapi tetap saja membuat aku bingung, apa sebenarnya yang ia cari dari diriku? Padahal keindahannya membuat semua mata bertanya, haruskah aku menjadi manusia akhir dari ketulusannya? Mengapa ia relakan rahimnya mempersembahkan kado kebahagiaan yang jauh dari kepantasanku? Ia tidak memintaku sempurna seperti mereka, sementara hidupku selalu diisi dengan belas kasih orang lain. Di antara rasa kebersamaan dalam hina itu, itulah aku. Aku adalah seorang yang memiliki sepasang bola mata buta sejak lahir. Tapi kebutaan bukanlah milik diriku lagi bagi anak dan istriku. Aku bersyukur, aku bagi mereka adalah kesetiaan....
Untuk apa?
Aku...
Aku adalah penjagamu. Aku selalu ada di belakangmu. Aku berlari kemana saja mobilmu melaju. Seandainya hilang dari pandanganku, sampai di manapun aku tahu jalan pulang. Aku kembali ke rumah tanpa kecewa dan air mata. Biar liur putihku mengalir deras, biar nafasku keras termengap-mengap, aku tidak pernah gonggongkan suaraku meminta kesetiaanmu. Aku tidak menuntut belas kasihanmu. Kibasan ekorku selalu berikan tanda ketulusan. Karena sesungguhnya aku adalah si Bruno. Aku adalah anjing yang beruntung setelah hidup dari sisa makananmu. Aku bukanlah seperti manusia dengan kelebihan karunia. Otakku hanya sebesar kepalan tangan bayi dan engkau hargai aku melebihi manusia? Saat aku dikuburkan, engkau angkatkan tangan sebagai tanda hormat kebesaran di atas batu nisanku. Aku seperti bukan anjing lagi. Aku bukan hanya simbol kesetiaan dan kemuliaan manusia lagi. Aku bersyukur, aku bagimu adalah kehormatan....
Untuk apa?
Aku...
Aku adalah satu tubuh abstrak. Aku ada karena secarik kertas proklamasi. Aku ada karena pusara-pusara pahlawan bangsa. Aku adalah tanah tumpah darahmu. Aku telah dijadikan sosok seorang ibu. Berlimpah-ruahlah kata-kata hatinurani yang engkau terima. Berlimpah-ruahlah nyanyian ibu yang menegarkan kebesaran jiwamu. Berlimpah-ruahlah kasih dengan belaian sentuhan damai ibu. Berlimpahlah rasa aman dalam pangkuan. Ibu akan selalu berkata, ibu tetap setia dan sayang betapapun durhakanya kamu. Kamu telah abstrakkan jiwa ragaku adalah janji-janji negeri. Fakir miskin dan orang-orang terlantar adalah tanggung jawabmu. Kamu melindungi segenap rakyatku. Aku menjadi ada karena pemimpin-pemimpinmu. Mereka engkau pilih karena setia mengabdikan diri. Mereka bagimu sesungguhnya adalah aku. Mereka sesungguhnya adalah corong penyambung lidah dan suara hatinuranimu. Sekarang aku bukan lagi sebuah kehormatan. Aku bersyukur, aku bagi rakyatku adalah pengabdian jiwa dan raga....
Untuk apa?
Aku...
Aku adalah makhluk dengan karunia akal budi. Aku selalu bicara kesetiaan. Aku selalu bicara kehormatan. Aku selalu bicara pengabdian dengan jiwa dan raga. Aku terlahir karena kasih Tuhan. Aku akan menjadi yang terbaik karena selalu memberikan ajaran kasih sayang Tuhan itu kepada sesamaku. Kebersamaanku ada karena keutuhan kasih sayangNya. Aku tidak perlu bertanya lagi, aku bagi penderita-penderita penyakit karena kemiskinan adalah bukti kasih sayang sesamaku itu, yang mereka rasakan di seluruh pelosok tanah air kita....
Aku, aku tidak perlu bertanya tentang keusangan akal budimu lagi,
Di mana, di mana sebenarnya kemanusiaan itu karena kematian
Di mana, di mana sebenarnya keadilan sosial itu karena kemiskinan
Di mana 'sense of community' itu karena ketiadaan keberpihakan
Di mana kehormatan itu karena penyakit-penyakit akibat kemiskinan
Di mana balas budimu itu, anak-anak bangsa yang gugur sia-sia akibat malnutrisi,
telah berhamparan menghiasi halaman rumahku
Di mana kemerdekaan dan harapan masa depan generasi kita karena beban-beban utangmu,
jual sudah daya pusaka pertiwi dan peluh keringat rakyatku
Di mana citra bangsamu atas angka-angka kematian karena kemiskinan itu
D i m a n a I n d o n e s i a k u …………
Aku tidak perlu hantarkan cermin komitmen kemerdekaanmu lagi
Karena kamu sesungguhnya tahu tentang semuanya…
s e m u a n y a
s e m u a n y a
Hari ini aku bersyukur, aku bagi kamu adalah panggilan suara hati.
Untuk apa?
Ada... anak-anakku yang telah tiada sebelum sempat belajar menyanyikan laguku Syukur. Nyanyikanlah lagu ini untuk mereka yang masih ada agar mereka tahu sesungguhnya kita ini siapa. Syukur aku sembahkan ke hadiratMu Tuhan adalah syukurku, syukurmu. Jadikanlah Syukur itu kidung patriotik milik mereka.
Agar hilanglah pedih dan perih hati kita hari ini karena perbuatan kita, dan besok kita tetap berkata sama.
Ini jargon-jargon usangmu,
ini pameran simpul angka-angkamu
kala mataku tertutup melihat gap fenomena gunung es kemiskinan
dari data-data yang tersingkirkan karena kebutralan egomu
Aku mengelus dada dengan rona wajahku bersyukur
Betapa progresifnya datamu.
Catatan : Merdeka sudah puluhan tahun, kalah dgn Palestina (peringkat IPM/HDI, UNDP, 2009). Ada yg menyimpulkan negara kita termasuk underdog, brutal kalau lihat data-data kematian karena kemiskinan. Hari ke hari, tahun ke tahun, kesadaran yang berjalan di tempat menjadi fakta lumrah kehidupan . Bingung dan memilukan, dimana Indonesiaku. Semoga menjadi perhatian.
Sumber lirik : Planetlirik
Lirik Lagu Wajib Nasional Musik Perjuangan /
Patriotik Nasional Republik Indonesia!
Karangan / Ciptaan : H. Mutahar!
Syukur
Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniamu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
KehadiratMu Tuhan
Dari yakinku teguh
Cinta ikhlasku penuh
Akan jasa usaha
Pahlawanku yang baka
Indonesia merdeka
Syukur aku hanjukkan
Ke bawah duli tuan
Dari yakinku teguh
Bakti ikhlasku penuh
Akan azas rukunmu
Pandu bangsa yang nyata
Indonesia merdeka
Syukur aku hanjukkan
Kehadapanmu tuan