Di Sana Bendera Setengah Tiang, ........

Gemuruh di dada, seia sekata
derap kaki-kaki, melangkah
Adakah
nyawamu juga,
nyawaku?
.........

Wahai engkau di bilik bungker
lama kawat-kawat berduri, angker
Adakah
sangarmu juga,
sejarahku?
.........

Tangis ayah ibu mereka, kering-kering
ratapan aktivis perubahan, debu jalanan
Adakah 
dengan RECTSTAAT
haruslah jalan itu mengental, 
MEMERAH? 
........

Kemanusiaan kita, muntahan beraroma
kebohongan demi kebohonganmu
terseduh nyawa-nyawa
serasa benar-benar segar
engkau minum
Sekarang tanyalah siapa
mayat-mayat itu siapa bagi kita?
Adalah,
perih dahagamu
membungkam,
..........

Silahkan berbisik-bisik
tertawa lepas di raga mereka*
dan lihat
di sana, ada sisa mulut muliamu
di meja langit tirani, ada sisa ayat-ayat tangan besi
Bendera kita bertanya ;
Adakah,
limbah hitam
kotori orasi dari air ludah,
kejujuranmu?
..........

Wahai engkau, apa hiraumu?
sampai berabad-abad nanti
bendera itu setengah tiang Saudara
Berkibar-kibar dengan goresan tinta emas ;
Adalah nyata bertanya di atas lembaran sejarah, 
....Negeriku negerimu satu, suara menggelegar ikrar sejiwa
....Tapi mengapa bagimu Indonesia, mereka bukan milik kita 

_______________

*)Korban tragedi Semanggi, alm.Munir Said Thalib,
juga korban Penghilangan Paksa sahabat aktivis.
Reposting dari Kompasiana/BangKemal
Referensi inspirasi puisi dari Youtube : Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu - Wiji Thukul

Dinding Perenungan, Monolog Niskala Mutiara

Memerikan jawaban-jawaban hakiki tanpa menyelami, mawas diri menemani momen kesadarannya agar beranjak pergi. Keberanian pulas, retak paras. Merahimi pengetahuan tanpa cahya nurani, keseimbangan hakekat dan rasa menyekap raga maknawi agar mati suri. Waktu sekarat melepas, sangkal jiwa bernas.

Sesungguhnya irasional beranda euforia maya terhembus menyertai syair melodius ini. Sesunyi sehelai selaput beriritasi, merentang di celah-celah air mata membatu dengan keasrian alami. Berkurun-kurun tertegun di kilauan warna nan anggun, adalah kesaksian riwayat merintih. Mengabaikan tanya mengapa atas tanya, berbincang indera menggatra cahya kekal abadi menerangi. Tiada gentar monolog mutiara menundukkan jaman demi jaman, mencari jawaban linier yang terukir di dinding perenungan. Metafora cakrawala pada cipta cakrawala, bermakna ukiran berelemen purna.

Sang Niskala Mutiara tidak mengira, gubahan sekadar di atas dari kuas imajinasinya, mengalirkan rangkaian kata-kata tertumpah ruah begitu saja. Barangkali saja inilah hasil renungan yang terseduh jawaban simpatik engkau di sana. Ringkas, namun efek cahaya itu menurunkan renungan panjang. Serupa turunan ribuan kapal layar riposta dari galangan yang berbeda-beda, berlayar mencari pasangan serasi proposta, apakah daratan larik mereka berpadanan definitif, atau serasa sia-sia belaka. Sungguhpun pilar-pilar kesadaran akhirnya timpang tersandung garis meridian nol, ambruk tanpa daya saat itu. Awal rima nihilkan makna, ujung parafrasa barisan puisi dinginkan relevansi kata-kata, kala usai satu malam mendayukan aria.

Bagaikan lilin-lilin kecil menilik titik sentrum keindahan dalam kehampaan pertanggungjawaban. Bertahan dalam pesona drama musikal bergenre futuristis, bertahan dalam semunya kencana nirwana fiktif, bertahan dalam ruang gila-gilaan mengekploitir neraka berfantasi, bertahan dalam gundukan syair-syair berlumut imitasi, mampu membebaskan belenggu-belenggu kekosongan makna peristiwa lama. Lupa untuk lupa, selalu untuk selalu, nihil untuk nihil. Tidakkah sedianya mengalir deras, inspirasi beriak-riak bertautan, mengadu dan beradu di tiang-tiang kayu penyangga jembatan kecil, manuskrip-manuskrip telaga inspirasi berikrar setia. Engkaukah di sana untuk aku di sini?

Mengapa, mengapa begitu kejam hawa dingin meremukkan keteduhan bumbungan malam? Seakan-akan bayangan diri tergesa-gesa menghindari, berlari-lari di kejar laskar-laskar memburu dengan pertanyaan yang sama. Bak irama terputus-putus, terlontar segala amarah tak bersuara ke segala penjuru bintang-bintang terjauh, tak jua sensasi tanya itu pergi. Mujurkah nasip telah melumpuhkan alasan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, menjadi seni memahami dalam hening, bahwasanya kesadaran lebih berfundamental daripada tumpukan ilusi?

Bagaimanapun juga, masa memasuki guha kepurbaan dalam perenungan, adalah momen penyempurnaan karakter-karakter berbicara proses memahami dan memanusiakan diri. Niskala Mutiara sejenak menahan nafas beban pendalaman kontras dualitas. Apa yang sebenarnya terjadi, bila partitur kali ini teraransemen tanpa kaidah tepat nalar dan rasa?

Di muka kabut putih yang terhambur melalui mulut sosok tak berbayang tadi, berjajarlah satu-satu artifisial menyerupai Medusa. Ingin rasanya ia kembali berjalaran, memagut seluruh markah lorong-lorong udara di rongga dada. Menjambak sulur kultur baku pikiran dengan kebuntuan kontekstual. Rembesan sisa berbisa merambat, inginkan penaklukkan ketinggian benteng harga diri dalam kesabaran. Kekakuan menyisakan dilema bagi halusinasi akut pencarian pembenaran jati diri. Membius dengan alasan-alasan manjakan pernik-pernik abstrak di jubah kaku membatu, membelakangi jejak suara hati ketika mata terbuka mengusik perhatian di depan muka Medusa. Tiada arah pertanggungjawaban akan nilai ekuilibrium dalam kebenaran dan konsistensi. Adakah pandangan ketakutan yang tercipta berkali-kali, bayangan itu menjadi batu atau cermin yang memenggalkan diri sebagai pangkal penempaan?

Karena terlena gairah semusim, embrio-embrio beralasan ini masih berada di area intro seritmis gerak alamiah tubuh. Di pinggiran dinding gua berleluasa, menganggit jawaban bermakna. Mampukah penerimaan ujian nyata dan maya ujudkan keutamaan sandaran nalar semata? pengalaman membaurkan diri ke inti alam pikiran konduktor, arti tematik mengiring, menuntun dan bersanding ;

Pembelajaran bersama meneguhkan basis karakter mumpuni, mereka menikmati proses musim berganti. Hingga ketajaman seni hidup terbiasa, fasih mendaras epik kehidupan damai dan meneduhkan. Sebab keseimbangan berbicara pengorbanan dan keberanian kekinian, saat menyeimbangkan hakekat dan rasa, atau hanya jelang ajal rampungkan kesadaran.
---------------------------------------------

Catatan : Seri Baton Konduktor. Bersambung.
Teman inspirasi dari musik Youtube ORGES BIZET - Aria from The Pearl Fishers.
Reposting dari http://fiksi.kompasiana.com/novel/2011/11/22/dinding-perenungan-monolog-niskala-mutiara/

Oi Pengemis Pemilu, Hedonisme Syalala Trilili

Gigi nyeri, kertakkertak pergi
awasi dia, di ujung jari
republikku sana, engkau cuih sini
kabin AC syalala, cacing menggigil trilili

=/=

Di ujung asap knalpot, kubeli nyali
berani mendekat, kutembak nanti
teeeeeeeeeet 
pinggir oi 
pergi
gantian asap di ujung jari
trettetet buih berbuih
trettetet dalih berdalih
klakson pun
ikut bernyanyi

Oi, oi
keras kepala demokrasi berbuku putih ;
nyata aku jenderal terpilih
aku jenderal demi
trettetet buih berbuih
trettetet dalih berdalih

Ini kan itu, itu kan ini, estafet berlari
dulu koarkoar 
alasan pelayan mengabdi
emis hampir mati
muka alihalih
republik pun 
sembunyi


Oi, oi
berputar-putar? wah lobilobi
kelaparanmu? wah ngengsi
busung lapar? wah sepi
korupsi? ditanya lagi.....ii?
matilah engkau, ku kubur mati
oh syalala...aa,  oh trilili...ii

=/=

Ini dia Pengemis Pemilu
laparku tidak lagi lehermu
Heeh, batupun tahu 
lentur dia jadi tahu
syalala borjuismu 
trilili mendidih darahku


Pengemis MaluMalu
kerak nasi dan asapmu
di jantung publik, syalala trilili
muakku karena satu rantai
demokrasi jadi salahku?
Mulut menganga bertahuntahun
syalala trilili
putus rahang otakku
hus, hilang lagi


Wah, tahu begini
pengemis itu, alihalih ini
suara ini, alihalih itu
pestaan idol nanti?
ku pilih anu polos
yang polos anu


Haha, baik kubuatkan dulu
huruhura anak TK berpuisi mengabdi
judul? Oi PILIH AKU aku
AKU PEDULI peduli
oi AKU, aku melulu
syalala trilili

=/=

    trilili                                                 trilili
      syalala                 syalala                  syalala                  syalala
          si Borju                                               si Hedon                                             si Pengemis



------------Keterangan
Referensi lagu, Youtube : Pumped Up Kicks - Foster The People




Berjiwa Merdeka

Di pangkal cakrawala, sampah-sampah demagogis berdiri
hedonisme berlumur nektar, berhamburan merobek kesejatian jati diri
sang jiwa sonder api jiwa perjuangan, gelepar di tapak kaki-kaki, mati suri
meniris tirta, menguras darah, pucat terkapar,
di muka kibaran merah putih
hening suram, hening kelam,
hening terdengar, hening tertampar ;

Wahai nasibmu bangsa, galerimu bangsa beragama
betapa terkoyak-koyak ini jiwa saat engkau
BERPURA-PURA ELOK BERDOA BERALAS TANAH NAGARI

Engkau yang bukan abu perjuangan
tiada gentar terseret-seret pawana peradaban berlalu
di dermaga tempaan yang berbeda,
saatnya semua ini harus diakhiri
Bangkitlah sekar harum wangi aktivis,
elemen-elemen nagari,
mahasiswa-mahasiswi bangkitlah kembali
Mari kepada bangsaku,
junjung nagari merdeka bagimu
laksana bagaskara jiwa-jiwa merdeka,
di raga bangsa kita bersatu
keluar memancar gilang gemilang,
Indonesia Tercinta berseru ;

Terimalah kepercayaan ini,
kepalan tanganmu juga gita di sukma kami.
Karena pancaran itu mengukir satu kesatuan arti bersejarah,
MERDEKA ATAU MATI ;

Aku tidak menghukum anak-anak bangsa sekalipun engkau berlindung,
pemimpin-pemimpin sekalipun ada yang bermental pengkhianat.
Sebab, angka-angka kesenjangan dan korupsi yang tersembunyi,
dan rakyat yang miskin mati kelaparan karna nasionalisme pura-pura,
ratapan telah membiarkan nama besar negara terpampang di batu nisan sejarah ;
Runtuhnya sebuah bangsa yang menggali liang lahatnya sendiri tanpa disadari
Doa dan kemboja di petilasan kita menanti

Atau

Tetaplah membumi api jiwa merdeka
yang menantang deras arus penindasan semesta.
Di media perjuangan dalam kata-kata, 
di medan pelaksanaan kata-kata,
ia memaknai hakekat berbangsa.
Gambaran itu terlahir ada,
dan menyangkal kegamangan, kecemasan, keraguan
Rumit bertendensi di pikiran sederhana,
hanya karena keinginan daging dan darah berkuasa fana
Sebab, manakala terhayati esensi, 
perbuatan adalah identitas kesejatian diri
Dengan khusyuk bersyukur,
jadilah saksi pranata keilahian di jiwa persada, dan yakini
kehakikian terkandung dalam karuniaNya,
Tuhan Yang Maha Esa memberi kita jiwa merdeka.

____________

Catatan khusus :
Nomor 190, BangRe Kemal - Ricka Desuka (akun fb terdaftar). Puisi lanjutan (Bang Kemal - Sunny Huang), Momen III/ Berjiwa Merdeka, untuk FPK. Terinspirasi dari Pidato Indonesia Menggugat (bagian Kekuasaan Semangat) :

Ketahuilah! Senjata tiada menyinggung hidup,
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
Tiada angus oleh angin yang panas,
Tiada tertembusi, tiada terserang, tiada terpijak.
Dan merdeka, kekal-abadi, dimana-mana tetap tegak.
Tiada nampak, terucapkan tiada.
Tiada terangkum oleh kata, dan pikiran.
Senantiasa pribadi tetap!
Begitulah disebut Jiwa.


Cukup banyak kutipan-kutipan, salah satunya dari Bagawad Gita ini. Disebut sebagai nyanyian ilmu ketimuran, untuk menegaskan bahwa yang dimaksud bukan kekerasan, tetapi semangat adalah senjata. Sebagaimana di lanjutan pidatonya sendiri :

Siapa bisa merantai suatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dirantai?
Siapa bisa membinasakan sesuatu bangsa, kalau semangatnya tak mau dibinasakan?

Terimakasih FPK, Selamat Hari Sumpah Pemuda
Reposting dari Kompasiana tanggal 28/10/2011 (BangKemal)        
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/10/28/fpk-berjiwa-merdeka/ 
Link referensi musik, sumber Youtube : http://youtu.be/m9DpT7354Lo

Balada Jukung Kelana (Fiksi Kolaborasi Sumpah Pemuda)


Momen I/ Mari Bertanya


Hening terkesima benak melarung, tenang landaikan riak jukung
bagaikan lembut gemulai ombak menggetar rasa
berpangku teduh di hibahan suarga nusantara

       upakara isi jiwa damai turun-temurun, ialah berhikayat sejarah
       terpatri dalam pranata ini jiwa, sakaguru harinurani kita MERDEKA
       karunia keilahian itu sesungguhnya, hanya karna Allah


Bangkit berdiri di atas jukung, alunan nada selaras membawa
angin bersilir manja membelai wajah, mata terpana permadani nusantara
memuja elok untaian ratna manikam, sekejap degub menahan nafas, bangga
balada rindu ini, rindu tembang bergema

Duhai cinta anak nagari, dendang sang atma riang menari
memercik buih-buih di nuansa peradaban bangsa-bangsa
entah kemana jukungku kelana, saatnya tersesap tanya ;

    Berteriak sudah gegap gempita, saat memori terikrar sama
    Lama merekat sejarah bersimbah darah,
    tonggak nasip pun sama samsara
    derak kertak batang leher junjung duli seni negara
    namun dera dan tulah tak jua kita jera
    Mengapa dingin kian memiris nadi, lesu gelora mendekap suara
    Inikah keutamaan titian emas, satu dalam pengabdian kata-kata
    Inikah titisan kuasa langit utopia, sanubari menjilat ludahnya sendiri
    Semakin busuk dan karat daya juang menguasai
    serasa derap menyentak dada
    gelora itu binasa  


Momen II/ Krisis Akhlaki

Di kala kulit dan otak orang lain punya kita pakai
hakekat jiwa bernas pun berlabuh menepi
tiada lagi tangan tergenggam harmoni
seni budaya berterali degradasi
negasi nilai asri lestari

Berpuluh-puluh tahun ribuan jukung tersingsing badai
kandas terhempas, karam, berserakan kerangka di dasar karang
nihilkah kearifan kepemimpinan nagari ayomi,
pemimpin bijak bestari, berprinsip, bernyali
sulur leluhur seakan tercerabut paksa,
arak-arakan menggiring keserakahan dengan pasti ;

   Jukungku pura-pura berpancasila
   jukungku buta bernama serakah
   budaya baru berbusa rentan meracuni akal budi
   bangsaku berlarat-larat dalam segara tabiat korupsi  


   Jaman gamang memiuh makna bersatu menjelma
   seribu anak panah nalar lugas menghunjam, ujudlah krisis akhlaki
   terbang-terbang ia seperti binatang penyerbuk milenium
   di kaca-kaca dependensi
   pembangunan niraksara berdikari
   daya pusaka termangsa obligasi
   Kawan! ini cara pandang, ini waktu, ini visi
   berpura-pura 


--------Keterangan :
Selamat Hari Sumpah Pemuda
Fiksi kolaborasi BangKemal - Sunny Huang
Momen III/, dipersembahkan untuk FPK
Referensi musik Youtube Chopin Larung : http://youtu.be/PWR157d4AWI  
Link terjemahan sebagian lirik (berbahasa Bali) ;
http://aprilsnotes.wordpress.com/2011/06/08/chopin-larung/
Reposting dari Kompasiana/BangKemal, 28/10/2011. 
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/10/28/balada-jukung-kelana-fiksi-koloborasi-sumpah-pemuda/

Gen Harlot Bunga Mawar

Aku adalah liar bunga mawar
yang mencoba menabung peluh demi mimpi di jejak kaki
Ku serahkan seluruh kemaluan dan waspadaku dengan senyum tegar
untuk jalani hidup penuh percaya diri

Aku gen Harlot di mazbah kesadaran
yang memberikan bahagia dari getiran air mata
dan segala marahku untuk harumnya luka masa lalu
Ku serahkan kepolosan dan keegoisan ini pada hidup
dalam kesederhanaan sewajar awan putih
untuk genapi hidup penuh pembelajaran

Akulah tubuh ranum di ranjang realitas hidup
yang membuka lebar kakiku,
dan menutupi ruang hati saat menapaki masa depan
Ku serahkan kesabaran dan kecermelangan rasionalku
untuk jalani kesuksesan,
di tangga-tangga episode kehidupan

Ya,
Aku seorang wanita dengan ribuan angan
yang sudi memberikan hasrat, keinginan
tubuh, pikiran, untuk kebutuhanku
Tapi jangan menghakimi penyerahan ini
dari mulut sempurnamu
K a r e n a   i n i   a d a l a h   h i d u p !

_________

Nomor 190, BangRe Kemal - Ricka Desuka (nama akun fb. terdaftar)Puisi lanjutan,
Momen III/ Gen Harlot Bunga Mawar (kolaborasi Bang Kemal - Sunny Huang), untuk FPK.
Reposting Kompasiana/BangKemal, 28/10/2011;
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/10/28/fpk-gen-harlot-bunga-mawar/
Referensi musik intrumental Youtube, First Rain, mengalirkan inspirasi.

Momen di Meja Kehormatan (Fiksi Kolaborasi)


Momen I/ Tangisan Perempuan Hamba Sahaya

Di ajang jamuan malam pemuas lapar dan dahaga, terhidanglah beban hukum dikotomi. Bagai pisau yang membelah dengan presisi berkuasa: bersih, agung, suci, terhormat, seraya sisi lain tersisih dari piring estetik emas dan selaka. Simbolis hidup mereka, berabad-abad lazim dan sahih bernilai tukar. Kepala perempuan hamba sahaya tertunduk setelah memandang cermin yang membinarkan mata ego ke seluruh lelangit. Betapa kita latah di batas ruang dan waktu. Sulur bayangan milik siapa lagi yang harus melahap rakus sisi-sisi lain yang tersisa di lantai mozaik jiwa mereka?

Dengan anggun atas nama kebenaran di bawah kaki meja kehormatan
adakah di antara kamu sudi meramahkan diri bagi keluarga kami
memopong anak-anak papa kala meminum lumpur
suapi para jompo tanpa kerikilkan batu
tiada hakimi kekerasan
menjagal keadilan
menista tubuh
menjajah sisi lain
membersih nanah sendiri
tatkala bekerja siang dan malam 
mereka menukar semua tuduhan gen wanita
demi pelecehan kebenaran melata di dasar lautan tanya
sekian abad, siapa sesungguhnya kami dan liar di kuk kodrad ini

Jauh di lembah usang, masih mengalir air ludah dari bibir mayat hidup, menggahar matahari dengan pesan menggema setelah sang hayat menghindari kebusukan, 

“Jangan jadikan klaim atas nama kehormatan dan moral berlimpah nafas suci, membuatmu diam terjebak kepada telinga yang tulus mendengar pertanyaan itu. Atau menerima air mata menjadi darah baru bercucuran di atas raga jawaban hampa karna jiwa berdalih, apa yang sebenarnya mereka lakukan. Karna tuli itu tangisan panjang perempuan sahaya.”

Momen II/ Hening Lelap Malam

Malam ini, ku percayakan pengekalan kepada mereka yang setia memangku rebahan. Dengan senandung mahasempurna semesta hibahanNya, ingin kudengar setiap suara persembahan. Biarlah sisa-sisa doa kejujuran tetap berlari riang di hamparan indah nebula-nebula kan membius sadar, aku terbang bersama lelapnya hening sebelum kerinduan menerima dekapan alam:

Kekasih
istirahatlah
meski ku percaya
kuas meniti detik-detik
milenium menyeka kanvas
bersandinglah abad dan adab
perubahan tak membenam serupa senja

Malam kan mengambil panas matahari
malam kembalikan jiwa-jiwa sahaya
kepada rahim kasih semesta alam
kepada jemari fajar keemasan
membernaslah kenyataan
di pundakmu karang
ketegaran

—————Catatan :
Fiksi Kolaborasi Bang Kemal-Sunny Huang
Momen III/, dipersembahkan untuk FPK
Referensi musik inspirasi, Nocturn :
Reposting dari Kompasiana/BangKemal, 27/10/2011

Lirik terjemahan google (Norwegian) :

Let the day/ get it’s rest/ and the night will recede for the day
Nocturn/ Look, the night/ have to go/ so the night can give birth to a day